Oleh: Dahlan Pido, SH., MH./Praktisi Hukum/Advokat
Koordinator Kuasa Hukum Warga VBI – Ciputat Yang Memenangkan Kasus Lingkungan Hidup Di Mahkamah Agung RI
DALAM berbagai kasus yang menyangkut masalah lingkungan, biasanya Korporasi merupakan subyek paling dominan sebagai dalang yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu lingkungan hidup di suatu wilayah atau lingkungan masyarakat tertentu. Hal ini tidak terlepas dari kegiatan korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam dalam jumlah besar sebagai salah satu faktor produksi untuk menunjang operasional yang secara langsung atau tidak langsung yang dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat sekitar.
Hal ini bisa menjadi pemicu timbulnya sengketa antara korporasi dan masyarakat, dan rata-rata masyarakat dalam kasus lingkungan selalu daalam posisi yang menjadi korban/ pihak yang lemah, karena pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan korporasi hanya berorientasi / motif ekonomi, dan ternyata kondisi ini sangat merusak lingkungan hidup, bahkan mengabaikan hak-hak makhluk hidup lainnya, seperti hak hidup manusia, hewan dan tumbuhan.
Pembangunan industri, hotel, apartemen, rumah sakit, pertambangan, eksploitasi hutan dan laut sampai padatnya arus lalu lintas akibat pembangunan yang terus berkembang, memberikan dampak samping pada tanah yang kita tinggal, air yang kita gunakan untuk kebutuhan hidup maupun udara yang kita hirup.
Apabila tanah, air dan udara tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menyediakan suatu iklim dalam keadaan yang layak untuk kita gunakan, maka pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup itu telah terjadi.
Pencemaran lingkungan hidup, bukan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang ada sekarang, namun juga mengancam pada kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.
Oleh karena itu baik masyarakat, maupun pemerintah berhak dan wajib secara aktif berperan serta aktif dalam pelestrian lingkungan hidup, negara sudah berupaya memberikan perlindungan melalui berbagai peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) No. 23 tahun 1997, adalah suatu produk negara (pemerintah dan legislatif) untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, sekaligus memberi perlindungan hukum bagi masyarakat agar selalu dapat terus hidup dalam lingkungan hidup yang layak dan sehat.
Pembuktian kerusakan lingkungan hidup harus merujuk pada mekanisme Pro Justisia, jika proses pembuktian ilmiah tidak bisa atau terlambat, maka Hakim harus mendahulukan kepentingan perlindungan lingkungan hidup, meskipun secara ekonomi ada keuntungan besar, tetapi alasan semata berorientasi ekonomi tak dapat dibenarkan, karena alasan ekonomi tidak boleh dijadikan dasar bahwa perlindungan lingkungan hidup tidak perlu, karena kegiatan-kegiatan sosial seperti adanya rumah sakit dan industry yang sangat berdekatan dengan perumahan warga masyarakat sangat beresiko dengan lingkungan hidup, seperti adanya pencemaran B-3.
Bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasa 65 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009;
Untuk setiap perijinan lingkungan hidup yang ada harus berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti:
1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan;
3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 17 tahun 2012, tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan izin Lingkungan.
Dalam mendapatkan ijin lingkungan, yang paling penting itu melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang terdampak langsung/dekat, dengan mengundang atau menghadiri acara sosialisasi dan/atau konsultasi publik pada proses pembuatan AMDAL. Seperti dalam Permen LH No. 17 tahun 2012, masyarakat yang terkena dampak dapat memilih dan menetapkan sendiri wakilnya duduk sebagai anggota Komisi Penilai Amdal yang dilibatkan dalam proses penilaian dokumen Andal dan RKL-RPL melalui rapat Komisi Penilai AMDAL.
Penerapan sanksi terhadap pelanggar lingkungan hidup dapat dilakukan melalui 3 jalur, yakni pidana penjara dan denda, jalur perdata, serta jalur adminstrasi. Untuk sanksi pidana bersifat komulatif bukan alternatif, jadi sanksinya diterapkan keduanya yaitu sanksi pidana penjara dan pidana denda, bukan salah satu dintaranya, pemberatan sanksi dapat dikenakan bagi pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana yaitu diperberat 1/3.
Ketiganya memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu mengatasi atau mencegah terjadinya perusakan lingkungan hidup, sedangkan tahap penyelesaiannya melalui 2 tahap, yaitu Penyelesaian Sengketa Lingkungan di luar Pengadilan, dan penyelesaian Hidup melalui Pengadilan (Litigasi)
Terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau;
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun (Pasal 119 UU No. 32/2009).
1. Dalam Jalur Hukum Pidana
Ketentuan Pidana dalam perkara lingkungan hidup ditentukan dengan memperhatikan niat batin seseorang (mens rea atau mental elements) yang sering disebut sebagai kesalahan si pelaku (schuld-verband). Niat batin seseorang di dalam pertanggungjawaban pidana dalam hukum lingkungan dibedakan atas kesengajaan dan kelalaian.
Berdasarkan niatnya maka seseorang dapat dituntut pidana, yang sengaja mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) vide pasal 41 UULH, karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah) vide pasal 42 UULH.
Dalam perkara penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) (vide PP No. 74 Tahun 2001), dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000. 000 (tiga ratus juta rupiah) vide pasal 43 UULH, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) vide pasal 44 UULH.
Pasal 78 angka 14 dirumuskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Dengan demikian, apabila pelakunya badan hukum atau badan usaha, maka sanksi pidana seperti pasal 50 ayat (1),(2) dan (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah), dan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
2. Jalur Hukum Perdata
Orang/korban yang terkena langsung pencemaran/perusakan lingkungan hidup (163 HIR), sedangkan Organisasi Lingkungan Hidup (LSM) yang memiliki hak gugat (ius standi) berdasarkan UU untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup (vide pasal 38 ayat (1) UULH.
Instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup, bertindak untuk kepentingan masyarakat jika pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup terjadi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat (vide pasal 37 ayat (2) UULH)
Meminta ganti kerugian terhadap penanggungjawab usaha yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan / atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan beban pembuktian pada pelaku usaha berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (berdasarkan pasal 35 UULH).
3. Jalur Administrasi
Ketentuan sanksi administrasi ini tidak terdapat dalam UULH, karena pada umumnya sanksi administrasi terkait dengan sistem perizinan. Seorang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin yang diberikan dikenakan sanksi administrasi yang diberikan oleh instansi yang berwenang memberi izin.
Dalam UUPLH diadakan ketentuan dengan sanksi administrasi, sehingga diperoleh ketentuan yang lebih jelas, yang dapat diterapkan oleh instansi yang terkait
Pasal 25 UUPLH menyatakan :
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang.
Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan bayaran sejumlah uang tertentu.
Penegakan sanksi administrasi merupakan hal terdepan dalam penegakan hukum lingkungan. Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara
perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah/perdamaian /negoisasi/mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Selain ketiga jalur di atas, ada konsep Strict Liability atau tanggung jawab mutlak harus diwaspadai pelaku usaha berkaitan aspek lingkungan. Korporasi dapat dihukum mengganti rugi hingga ratusan milyar, cukup dengan terbukti mengakibatkan ancaman serius bagi lingkungan dan menimbulkan kerugian bagi penggugat, yang tidak perlu ada unsur kesalahan.
Pertama kalinya strict liability dikenal di Indonesia dengan ratifikasi atas Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC) tahun 1969 oleh Keputusan Presiden No.18 Tahun 1978 (belakangan ratifikasi ini dicabut pada tahun 1998), yang kemudian masuk dalam UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah dua kali direvisi, sehingga yang saat ini berlaku, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) terus memuat soal strict liability.
Pertama kali tahun 2003 ada putusan pengadilan pertama di Indonesia yang menerapkan strict liability untuk menghukum tergugat, yakni dalam putusan PN. Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi hingga akhirnya menang di Kasasi tersebut dikenal sebagai Putusan Mandalawangi.
Putusan kedua yang mendasarkan pada strict liability terjadi pada putusan PN. Jakarta Selatan No.456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel, yakni pada Gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT. Waringin Agro Jaya, Hakim menghukum ganti rugi mencapai Rp. 466 miliar.
Penerapan strict liability adalah jurus ampuh, karena Penggugat tidaak dibebani rumitnya pembuktian unsur kesalahan, adanya kausalitas antara kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan tergugat cukup menjadi modal untuk menghukum tergugat.
Dalam UU Lingkungan Hidup, tentang Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak) diatur dalam Pasal 88, yang menentukan:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dimaksud bertanggung jawab mutlak (strict liability), adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari, ada hasil kajian kebutuhan air bersih untuk rumah tangga, oleh Nurcahyono dan Titus, dalam tesis tugas akhir pada tahun 2008 dengan judul “Perencanaan Pemenuhan air Baku di kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, rata-rata tingkat konsumsi air bersih adalah 70 liter/jiwa/hari.
Kasus yang berhubungan dengan lingkungan hidup, jika ada warga yang keberatan dengan jarak pembangunan yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dari pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), menularnya virus, bakteri dan/atau sejenisnya, serta terhalangnya sinar matahari pagi yang akan sampai ke rumah dan untuk mendapatkan sinar matahari pagi yang dibutuhkan untuk kesehatan warga bisa diukur dengan metode ilmiah.
Konsultan Lingkungan/Amdal Ir. Masni Dyta Anggriani, Msi., (kandidat Doktor Universitas Indonesia) Konsultan Amdal, sebagai saksi ahil di Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Serang tanggal 16 Agustus 2017, yang kebetulan penulis adalah Koordinator Kuasa Hukum Warga Villa Bintaro Indah (Ciputat), menerangkan bahwa:
a). Pemerintah berperan sebagai komisi penililai AMDAL, yang dokumen AMDAL sendiri itu ada tiga tahap, yang pertama dokumen kerangka acuan ANDAL, kedua adalah dokumen analisis dampak lingkungan atau AMDAL dan yang ketiga adalah dokumen RKL & RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan);
b). Penetapan masyarakat terkena dampak langsung itu juga harus dilakukan dengan menjalankan studi atau survey yang sifatnya ilmiah, dan umumnya tenaga ahli lingkungan itu akan melakukan prediksi dampak, akan dilakukan dulu identifikasi potensi dampaknya apa, sebagai contoh dampak penurunan kualitas udara, kualitas air, pencemaran limbah B3. Dengan menggunakan kajian ilmiah, kita akan mencari atau mengases, mengevaluasi luas persebaran dampaknya, berdasarkan hasil evaluasi luas persebaran dampak tersebut, kita akan mengetahui maysarakat terkena dampak langsung sampai radius berapa, kelompok masyarakat yang mana, lokasinya di mana, dan itu penetapannya dengan menggunakan metoda ilmiah;
c). Terkait dengan radius berapa kilometer, tergantung dari kegiatannya, seperti dampak debu, pencemaran debu radiusnya akan berbeda dengan dampak dari pencemaran air, dan yang diambil adalah titik terjauh;
–
Ahli hukum lingkungan Hidup Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH yang dihadirkan Kuasa Hukum Warga pada persidangan tanggal 30 Agutus 2017, menerangkan bahwa:
a). Pertanggungjawaban hukum terhadap suatu perbuatan itu dilekatkan pada UU, karena bisa melanggar prosedur, melanggar substansi, sehingga hal ini bisa dipertanggungjawabkan kepada pemakarsa. Tanggung jawab kegiatan bisa juga ditujukan kepada pemerintah sebagai pemberi izin, sebagai pertanggungan jawaban hukum ketika ada kerugian yang dialami oleh masyarakat.
b). Sesuai asas hukum point de interest point de action orang hanya boleh mengajukan gugatan jika dirinya memiliki kepentingan langsung berkaitan dengan adanya suatu keputusan tata usaha negara;
c). Bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasa 65 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009;
Dalam ketentuan, untuk penunjukan Komisi Penilai AMDAL harus mencerminkan keanggotaan yang mempunyai kredibilitas dan kompetensi terkait AMDAL dan penunjukan anggota Komisi Penilai AMDAL harus ada dari warga yang terdampak langsung.
Selain itu dokumen/ijin lingkungan (Amdal) sesuai UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informsi Publik, bahwa AMDAL sebagai dokumen hukum, dokumen ilmiah dan dokumen public, oleh karena itu dokumennya bisa dimiliki publik/masyarakat luas dan bukan dokumen rahasia, sehingga siapapun dapat mengakses dan mendapatkan dokumen tersebut dengan bebas, apalagi yang terdampak langsung.
Dalam Pasal 2 (1) UU No. 14/2008, menyebutkan:
a. Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik;
b. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
c. Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Pada Pasal 4 mengatakan:
(1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.
(2) Setiap Orang berhak: a. melihat dan mengetahui Informasi Publik; menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan UndangUndang ini; dan/atau d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pada Pasal 52 memerintahkan:
Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan Informasi Publik secara berkala, yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000 (Lima juta rupiah).
Oleh karena itu Hakim dalam menjatuhkan putusan pelanggaran lingkungan hidup tidak boleh bertentangan dengan apa yang diatur dalam UU No. 48 tahun 2009 (tentang Kekuasaan Kehakiman), seperti yang disebutkan pada pasal 5 ayat (1):
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Selanjutnya dalam pasal 53 ayat (2) menyatakan:
Penetapan dan putusan hakim, harus memuat pertimbangan hukum yang tepat dan benar.#(KP)
Komentar