Oleh : Apriyanto Nusa, SH., MH
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UNISAN Gorontalo & Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang)
HUKUM pidana itu keras dan kejam, tapi harus dijalankan. Inilah pameo yang dikenal dalam penegakan hukum pidana. Dengan diterimanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimohonkan oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, ada legitimasi yuridis yang bisa digunakan aparat penegak hukum dalam menerapkan ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Pasal 93 Undang-undang a quo menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah). Pasal 9 ayat 1 menjelaskan bahwa : “Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”.
Ketentuan umum Pasal 1 angka 1 mendefiniskan bahwa yang dimaksud dengan kekarantinaan kesehatan adalah upaya mecegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”.
Dari definisi kekarantinaan kesehatan, menunjukan bahwa ketentuan pidana dalam Pasal 93 diatas terdapat hubungan dua delik sekaligus yang merupakan pilihan atau bisa terjadi secara bersamaan, yaitu delik formil yang termaknai dalam pengertian kekarantinaan kesehatan dengan frasa : “berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”. Dan delik materiil yang termaknai dalam frasa : “sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyaraka“.
Dari dua bentuk delik tersebut, menurut kami yang lebih mudah untuk dibuktikan ialah delik formilnya, sebab untuk bentuk ini penegak hukum tidak perlu membuktikan terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat. Cukup seseorang tersebut telah melanggar tindakan kekarantinaan kesehatan salah satunya adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku dimasing-masing wilayah berdasarkan Pergub/Perwali/Perbup.
Selain ketentuan pidana yang disebutkan dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Terdapat kemungkinan menerapkan aturan hukum pidana lainnya yang terdapat dalam KUHP. Pasal 216 ayat (1) KUHP menyebutkan : “Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi seuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiap dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guuna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah satu seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu rupiah”.
Pilihan yuridis lainnya pun bisa menggunakan Pasal 218 KUHP yang menegaskan bahwa : “Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu rupiah”.
Namun dari ketentuan pidana yang disebutkan diatas, penerapan hukum yang ideal yaitu dengan menggunakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Hal ini karena beberapa alasan. Pertama; asas preferensi hukum salah satunya menghendaki bahwa ketentuan yang khusus (lex specialis) mengesampingkan ketentuan yang umum (lex generali). Pasal 93 UU Karantina Kesehatan merupakan ketentuan khusus dibidang kesehatan yang salah satunya mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai salah satu tindakan penyelenggaraan karantina kesehatan, sementara Pasal 216 dan 218 KUHP merupakan ketentuan umum dalam KUHP. Kedua; Konsep concursus idealis dalam hukum pidana menghendaki bahwa jika suatu perbuatan masuk lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat” (Vide: Pasal 63 ayat 1 KUHP). Dalam hukum pidana konsep ini dikenal dengan Stelsel Absorpsi. Dilihat dari ancaman pidana pokok, Pasal 93 UU Karantina Kesehatan memuat ancaman pokok yang paling berat yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, sementara Pasal 216 dan 218 KUHP pidana penjara yang diancamkan paling lama hanya empat bulan dua minggu.
Namun dari penjelasan diatas, penegakan hukum pidana bagi yang melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) khususnya yang akan diberlakukan di Provinsi Gorontalo dalam beberapa waktu kedepan, haruslah dipandang sebagai “ultimum remedium”. Pola penanganan secara persuasif harus lebih didahulukan dan diutamakan, daripada tindakan represif, karena menghukum tidak selamanya perlu (Asas Punier Non Necesse Est).##
Komentar