Laporan : Tim KP Gorontalo, Editor : Mahmud Marhaba
GORONTALO [KP] – Gorontalo dihebohkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas pemberhentian sementara Bupati Boalemo, Darwis Moridu dari jabatan Bupati Boalemo. Pro kontra atas keputusan ini pun terjadi.
Ahli hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (UNISAN), Apriyanto Nusa, SH., MH menjelaskan pemberhentian kepala daerah dalam perspektif hukum tata negara, tapi hanya sedikit memperjelas bentuk stelsel pemidanaan yang menjadi salah satu dasar pemberhentian kepala daerah sebagaimana yang dimaksud dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dikonkritkan dengan perkara pidana yang menyeret bupati Boalemo Darwis Moridu.
Pasal 83 ayat 4 UU 23/2014, kata Apriyanto jika menyebutkan : “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
“Ayat (1) menyebutkan bahwa : Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, ………,” tegas Apriyanto Nusa, Sabtu (14/11/2020).
Apriyanto membeberkan jika putusan yang dibacakan oleh majelis hakim terhadap Bupati Boalemo Darwis Moridu yaitu terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 351 ayat 2 KUHP. Adapun ancaman pidana penjara yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 ayat 2 KUHP yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun.
“Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan bahwa, baik dalam Pasal 351 ayat 2 KUHP maupun dalam pasal 83 ayat 1 UU 23/2014, menganut stelsel pemidanaan yang berbeda. Pasal 351 ayat (2) KUHP yang diancamkan kepada Bupati Darwis Moridu menganut stelsel pemidanaan Indefenite Sentence yaitu sistem yang menetapkan ancaman pidana dengan model maksimun khusus (termaknai dari frasa paling lama…), sedangkan Pasal 83 Ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menganut stelsel pemidanaan dengan model minimum khusus (straf minimum) yang termaknai dari penggunaan frasa : “diancam dengan pidana penjara paling singkat…,” jelas Apriyanto yang sedang menyelesaikan program Doktornya di Universitas Brawijaya Malang.
Ahli hukum pidana ini menegaskan pula, dengan mempertimbangkan perbedaan stelsel pemidanaan tersebut diatas, maka terhadap perkara pidana yang diancamkan kepada Bupati Boalemo Darwis Moridu yang menggunakan stelsel pemidanaan maksimum umum (straf maximum), tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memberhentikan sang Bupati dengan dugaan melanggar Pasal 83 ayat (4) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketika ditanyakan soal pandangan sebagian pengamat hukum, yang mengatakan bahwa dalam pasal 83 ayat 1 terdapat juga delik makar yang menganut stelsel pemidanaan maksimal khusus dalam KUHP sama seperti pasal 351 ayat 2 KUHP, Apriyanto mengatakan jika hal itu sangat dipaksakan.
“Itu terlalu dipaksakan. Alasannya, delik makar dalam pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, merupakan jenis delik dalam KUHP yg dimasukan secara khusus ke pasal 83 ayat (1), tanpa merubah tindak pidana yang lain yang tetap menganut stelsel pemidanaan Indefenite Sentence dengan model minimal khusus,” ungkap Apriyanto Nusa diakhir percakapannya dengan kabarpublik.id melalui jaringan telepon.#[KP]
Komentar