Laporan : Achmad Ariesmen Herosy (JMSI), Editor : Jumadi / Mahmudt
KOTA BANDUNG [KP] – Protes atas Keputusan Gubernur (Kepgub) Jawa Barat terkait penerapan protokol Covid-19 di pondok pesantren (ponpes) terus bergulir. Kali ini datangnya dari anggota dewan.
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jabar, Johan J Anwari mengatakan terbitnya Keputusan Gubernur Nomor 443/Kep.321-Hukham/2020 tersebut sangat disesalkan, terlebih ada ancaman di sana.
Menurut Johan, ponpes merupakan mitra, bukan lembaga vertikal di bawah Pemprov Jabar. Oleh karenanya mewakili para pimpinan ponpes di Jabar, pihaknya meminta Ridwan Kamil memohon maaf kepada para pimpinan ponpes sekaligus mencabut kepgub tersebut.
“Saya meminta agar Gubernur segera minta maaf dan mencabut ulang kepgub itu karena sudah mencederai lembaga pesantren dan meresahkan. Gubernur atau pemprov mesti paham bawa pesantren itu mitra, bukan vertikal,” kata Johan di Bandung, Senin (15/06/2020).
Politisi PKB yang juga Sekertaris Wilayah PW Ansor Jabar itu menekankan, di tengah situasi pandemi saat ini, Gubernur Jabar seharusnya membantu memenuhi kebutuhan pesantren terkait sarana protokol kesehatan pencegahan COVID-19, bukan mengeluarkan keputusan yang malah memberatkan seluruh pengelola ponpes di Jabar tersebut.
“Seharusnya kepgub itu ketika diluncurkan juga mengafirmasi apa yang dibutuhkan pesantren, tidak seperti instruksi organisasi secara vertikal,” katanya.
Johan juga menjelaskan, apa yang terjadi di seluruh ponpes saat ini adalah kekhawatiran para pengelola serta santri terpapar virus corona hingga memaksa mereka menghentikan kegiatan belajarnya.
“Munculnya kepgub ini justru semakin memperumit masalah yang menimpa setiap pondok pesantren seperti banyak dikeluhkan para ustadz dan kiai,” paparnya.
Protes akan keberadaan kepgub tersebut pertama kali disuarakan oleh Ketua Forum Intelektual Santri Subang (FISS) KH Ujang Soleh alias Sy Abrehom.
Menurutnya pesantren ini lembaga pendidikan mandiri yang eksistensinya tidak ditanggung oleh pemerintah sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan negeri lainnya. Kalau toh pun ada pesantren yang menerima bantuan (hibah) dari pemerintah, sifatnya hanya alakadarnya. Dan bantuannya juga tidak merata.
“Tidak ada jaminan semua pesanten dari yang kecil sampai yang besar bisa dengan mudah mendapatkan bantuan pemerintah,” kata kiai muda pengasuh Ponpes Miftahul Huda Al-Musri, Katomas Pagaden, Subang ini.
Jika hendak membuat regulasi, tambahnya, buatlah tanpa harus mengancam eksistensi pesantren. Jika dalam aturan yang disusun oleh pemerintah itu ada nada ancaman, aturan yang mengancam itu yang menjadi bukti kecacatan moral dan etika pemerintah atas eksistensi pesantren selama ini.
Kalau pun mau membuat aturan dengan nada acanaman semacam itu, setidaknya pemerintah harus memastikan bahwa seluruh fasilitas infrastruktur utama penanggulangan Covid 19 ada dan disediakan oleh pemerintah di seluruh pesantren di Jawa Barat tanpa terkecuali. Selama fasilitas dan infrastruktur itu tidak ada dan tidak disediakan oleh pemerintah, tak usahlah membuat aturan dengan nada ancaman.
“Tak pantas. Saat kampanye keliling ke pesantren-pesantren untuk mendulang dukungan, dan saat ini malah membuat aturan yang mengancam ditengah keberpihakan pemerintah atas pesantren yang masih jauh dirasakan ditengah pendemi Covid 19,” imbuhnya. #*[KPJabar].
Komentar