SOAL GUGATAN PROF ANI HASAN, TERGUGAT TUNDA JAWABAN, HAKIM KETUA BERI WARNING

GORONTALO, HUKRIM225 Dilihat

Laporan : Tim JMSI Jakarta
Editor : Mahmud Marhaba

JAKARTA [KP] – Setelah sekian lama tak terekspose oleh media terkait perkembangan gugatan Prof. DR. Ani Hasan, M.Pd kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas Surat Keputusan Nomor : 32029/M/KP/2019 tanggal 24 September 2019 tentang Pengangkatan Rektor UNG (Universitas Negeri Gorontalo) periode 2019-2023, atas nama Eduart Wolok, yang digelar di PTUN Jakarta, pada Selasa, 4 Pebruari 2020, maka perkara ini pun terdaftar dengan nomor :17/G/2020/PTUN-JKT setelah memenuhi amanah UU Nomor 30 Tahun 2014 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018. Ini pun merujuk atas anjuran Ketua PTUN Jakarta dalam sidang penetapan (dismissal) 8 Januari 2020, dikarenakan pihak Menteri tidak menaggapi gugatan yang dilayangkan Penggugat.

Sejak awal digelarnya persidangan gugatan Prof Ani Hasan, Hakim Ketua yang dipimpin DR. Andi Muh Ali Rahman, SH., MH telah mengingatkan kepada Kuasa Hukum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melengkapi berkas dengan melampirkan Kuasa dari Tergugat pribadi (Menteri).

Seiring dengan berjalannya siding pada Selasa 3 maret 2020, Kuasa Hukum Menteri belum juga mengantongi Kuasa yang ditandatanagni oleh Menteri sendiri. Hakim pun menetapkan permohonan intervensi dari DR. Eduart Wolok dikabulkan dan diikutsertakan sebagai pihak Tergugat II dan menangguhkan biaya perkara yang timbul sehubungan dengan putusan sela dalam perkara ini hingga putusan terakhir. Sementara perbaikan gugatan telah diterima oleh Hakim, dan selanjutnya adalah agenda jawaban/ tanggapan Tergugat digelar pada hari Selasa, 10 Maret 2020.

Saat waktunya mendengar tanggapan Tergugat, ternyata pihak dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan selaku melayangkan permohonan maaf karena gugatan jawaban belum dapat diunggah karena masih belum lengkapnya berkas. Permintaan perpanjangan waktu 7 hari pun disampaikan Tergugat hingga hari Selasa pekan depan tanggal 17 Maret 2020.

Ketua Hakim yang dipimpin DR. Andi Muh Ali Rahman, SH., MH, mengingat kepada para Tergugat dan Tergugat Intervensi terkait ketentuan Pasal 22 ayat (4) PERMA nomor 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, Bahwa, “Para pihak yang tidak menyampaikan dokumen elektronik sesuai dengan jadwal dan acara persidangan tanpa alasan sah berdsarkan penilian Hakim/ Hakim Ketua diannggap tidak menggunakan haknya. Oleh karenanya, pihak Tergugat dan Tergugat II Intervensi diberikan kesempatan terakhir (final) pada persidangan minggu depan hari Selasa tanggal 17 Maret 2020 untuk mengajukan jawaban/ tanggapannya masing-masing.

Apakah para Tergugat dan Tergugat Intervensi akan menggunakan haknya menyampaikan dokumen elektronik sesuai dengan jadwal yang ditentukan Hakim? Lalu, apa yang membuat sehingga ini bisa tertunda? Diduga kuat hal ini terkait Kuasa Hukum Menteri belum mengantongi Kuasa dari Menteri secara pribadi sebagaimana pengalaman persidangan sebelumnya.

Apa substansi dari gugatan Prof Ani Hasan tersebut?

Kabarpublik.id yang sejak awal mengawal kasus ini mulai dari hiruk pikuk Pemilihan Rektor hingga persidangan di PTUN Jakarta mecoba mengungkap kembali gugatan yang disampaikan Prof Ani Hasan melalui Kuasa Hukumnya, Deswerd Zougira, SH dan Uster E. Bawembang, SH., MA.

Bermula pada 17 September tahun lalu, saat Senat UNG menggelar Pilrek (pemilihan rektor) yang diikuti Eduart Wolok, Mahludin Baruadi dan Penggugat. Menteri ketika itu menyalurkan seluruh hak suaranya sebesar 35% hanya kepada Eduart.

Menurut Penggugat, tindakan Menteri itu tidak didasari kriteria yang jelas, tidak adil serta melecehkan kredibiltas calon lain yang seolah tidak memiliki nilai dan prestasi sama sekali. Menurut Penggugat, tindakan Menteri itu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang sebab bertentangan dengan asas ketidakberpihakan dan asas pemerintahan yang baik sebagaimana diatur UU Nomor 30 Tahun 2014.

“Sejatinya, kalau menteri belum memiliki dasar untuk memillih calon rektor yang berkualitas dan berintegritas, adalah sangat adil bila Menteri berdiri diatas semua calon dengan cara menyalurkan hak suara secara merata, tidak dalam bentuk gelondongan ke satu calon saja,” ungkap Deswerd kepada media ini, Kamis (12/03/2020) sambil memperlihatkan copyan berkas gugatannya.

Selain itu, kata Deswerd, Menteri juga dinilai melanggar prosedur Pilrek karena tidak membentuk Panitia Penilai untuk menilai kinerja dan kualitas para calon Rektor sebagaimana diatur dalam Pasal 9 (4,5) Permenristek Dikti Nomor 21 Tahun 2018 sebagai dasar memilih calon Rektor. Menteri juga tidak menelusuri rekam jejak para calon Rektor sebagaimana diamanahkan Pasal 8 ayat 1,2,3 dan 4 peraturan dimaksud.

Hingga Pilrek berakhir baik panitia Pilrek, senat maupun para calon Rektor tidak pernah dikonfirmasi tentang kinerja dan kualitas para calon dan rekam jejaknya. Padahal kedua hal tersebut penting dilaksanakan untuk mengetahui calon yang berkualitas dan berintegritas.

Pelanggaran lain, masih kata PH Ani Hasan, yakni saat rapat senat putaran terakhir untuk mengklarifikasi persyaratan calon Rektor. Saat itu Plt. Rektor (ditunjuk Menteri dari Kementerian) hanya menginformasikan adanya surat dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor : DII.26-30/W.06-10/12001 tanggal 16 Juli 2019 bahwa Eduart sudah mendapat persetujuan BKN untuk mencantumkan gelar doktor pada status kepangkatannya. Sementara nota persetujuan yang dimaksud belum terbit dan nanti terbit pada 23 Juli 2019 atau seminggu kemudian, sudah melewati tahap klarifikasi. Padahal nota persetujuan gelar doktor itu adalah salah satu syarat untuk ikut Pilrek sebagaimana surat Menteri Nomor : B/368/M/KP.02.01/2019 tanggal 25 Juni 2019. Surat BKN yang diinformasikan Plt Rektor itu diprotes anggota Senat tetapi tidak ditanggapi.

Diungkap penggugat, surat BKN itu muncul sebagai jawaban atas surat Menteri nomor : B/1449/A2.3/KP.04.00/2019 tanggal 11 Juni 2019 perihal Pencantuman Gelar Akademik Eduart. “Pertanyaannya apa kepentingan Menteri sampai menyurati BKN hanya untuk menanyakan pencantuman gelar doktor Eduart?” tanya Penggugat .

Sebelumnya Kepala Sub. Tata Usaha Direktorat Pengadaan dan Kepangkatan BKN, Syahabudin Baso mengaku semula BKN telah menolak permohonan pencantuman gelar doktor yang diajukan Eduart karena memang setelah diteliti ijazah S3 yang bersangkutan didapat dari mengikuti program kuliah kelas hari Sabtu yang sudah lama dilarang sendiri oleh Menteri. Tetapi, ungkap Syahabudin, pasca penolakan itu, BKN menerima surat nomor : B/655/C.1/KB.80/2019 tanggal 12 Juli 2019 yang ditanda tangani Agus Indarjo, Sekertaris Direktur Jenderal Kemenristekdik yang menyebutkan kalau Eduart mengikuti kuliah S3 bukan kelas jauh sehingga atas dasar itu permohonan pencantuman gelar doktor diproses untuk disetujui.

Tapi ternyata, jelas penggugat, setelah diteliti surat Agus itu mengutip SK Rektor UNG tentang Izin Belajar atas nama Eduart dan Surat Ombudsman yang justru menyebut Eduart mengikuti kuliah kelas hari Sabtu.

Memang, masih kata Penggugat, sejak awal ijazah S3 Eduart sudah bermasalah karena didapat dari kuliah kelas hari Sabtu yang oleh Menteri sendiri telah ditegaskan, ijazah yang dikeluarkan dari program kuliah tersebut tidak sah dan tidak dapat digunakan untuk pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/penyetaraan bagi Pegawai Negeri. Larangan itu tertuang dalam surat Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 595/DS.1/T/2007 tanggal 27 Pebruari 2007 perihal Larangan Kelas Jauh.

Disebutkan pula bahwa proses menuju pelantikan Eduart sangat cepat, hanya dua minggu setelah Pilrek. Padahal telah beredar luas instruksi Presiden kepada para Menteri untuk tidak membuat keputusan-keputusan strategis seperti melantik atau memutasi pejabat dijajarannya, yang berpotensi menimbulkan dampak dikemudian hari, sampai pelantikan Presiden pada 20 Oktober.

Ternyata, dari pengamatan Penggugat, saat menyalurkan suara secara gelondongan itu, Menteri diwakili oleh Agus Indarjo. Agus sendiri sebelum menjabat Sekertaris Direktur Jenderal Kemenristekdik adalah mantan Wakil Rektor II di Undip, menggantikan H Mohammad Nasir yang diangkat menjadi Menteri.

Oleh Penggugat, Agus dan Nasir secara personal memilki hubungan emosional dengan Eduart karena sama-sama tergabung dalam Forum Wakil Rektor II se-Indonesia dimana Eduart pernah menjabat sebagai Ketua. Sehingga menurutnya, itu patut diduga terjadi penyalahgunaan wewenang seperti diuraikan di atas dipengaruhi faktor pertemanan diantara mereka.

Yang paling parah, mengutip isi gugatan, dalam Surat Keputusan Pengangkatan Eduart, pada konsideran Mengingat, angkat 7, Menteri mencantumkan Peraturan Menristek Dikti Nomor 19 tahun 2017 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menristek Dikti Nomor 21 Tahun 2018 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pimpinan Perguruan Tinggi sebagai dasar penerbitan SK, tetapi faktanya menteri tidak melaksanakan dengan benar amanah peraturannya sendiri.

“Nah, Dari fakta-fakta yang disebutkan diatas, jelas sudah kalau Eduart memang sejak awal sudah disiapkan Menteri untuk menjadi Rektor, kendati untuk tujuan itu, menteri menyalahgunakan wewenang dan melanggar prosedur Pilrek hingga merugikan penggugat,” Tegas Deswerd Zougira, kuasa hukum Penggugat.

Berdasarkan hal-hal diatas, Deswerd meminta majelis Hakim yang diketuai DR. Andi Muh Ali Rahman, SH., MH membatalkan dan menyatakan tidak sah surat keputusan pengangkatan dan pengambilan sumpah Eduart sebagai Rektor. Memerintahkan Menteri mencabut surat keputusan tersebut dan segera melaksanakan Pilrek ulang walaupun ada upaya banding atau kasasi.

Gugatan ini akan dijawab oleh Tergugat dan Tergugat Intervensi sesuai jadwal, dimana sidang akan digelar kembali pekan depan. Ini dibenarkan oleh Kuasa Hukum, Eduart Wolok.
“Tentu sudah siap pak. Nanti tanggal 17 kami kirim ke PTUN Jakarta lewat e-court,” ungkap Yacob Mahmud alias Pokay saat dikonfirmasi melalui WhatsApp, Kamis malam, 12 Maret 2020.#[KP]

Apa Reaksi Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Komentar