Oleh: Drs. H. Ery Ridwan Latief, M.Ag (Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kab. Bandung)
KETIKA kita berbicara Politik seolah-olah kita masuk pada satu pilihan yang sangat rentan melahirkan pertentangan pemahaman, padahal secara otomatis kita sedang berbicara tentang diri kita sendiri. Langkah untuk menyerap wawasan yang berkualitas, tentunya tidak dipersepsi serba komprehensif. Kita bisa berujar layaknya Socrates yang dengan bijak mengakui bahwa :“yang aku tahu adalah aku semakin tidak tahu apa-apa.”
Samuel P Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations and Remaking of World Order mengatakan : “Di benak kita tersembunyi asumsi-asumsi, bias-bias serta prasangka-prasangka yang membimbing kita bagaimana mempersepsi suatu realitas, tentang fakta-fakta yang dilihat dan bagaimana menilai manfaat serta kebaikannya yang harus mampu; mengatur dan menggeneralisasikan realitas; memahami hubungan-hubungan kausal di antara berbagai fenomena; melakukan antisipasi dan, jika beruntung, melakukan prediksi terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang; memilah-milah mana yang penting dan yang tidak penting, dan menempuh jalan yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan kita”.
Kajian ini dibangun oleh 3 (tiga) tahapan berpikir : pertama, bagaimana memahami Politik? kedua, bagaimana realitas pandangan masyarakat terhadap percaturan politik di Indonesia dan ketiga, bagaimana seorang warga negara seharusnya berperan dalam mengapresiasi peta politik negara ini ?.
Terdapat banyak sekali pendekatan yang harus dilakukan sa’at ini. Minimal ada pendekatan yakni pendekatan institusionalisme (the old institutionalism) dimana negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni Negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan Negara otoriter yang berada pada titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya—jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara “baik” dan “buruk” tadi.
Pendekatan perilaku (behavioralism) menekankan bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sementara itu, inti “pilihan rasional” ialah bahwa individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik dan sebagai makhluk yang rasional selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri. Kedua pendekatan ini (perilaku dan pilihan rasional), memiliki fokus utama yang sama yakni individu atau manusia. Meskipun begitu, penekanan kedua pendekatan ini tetaplah berbeda satu sama lainnya.
Pendekatan pilihan rasional (rational choice) yang menekankan pada teori dan metodologi untuk menjelaskan berbagai fenomena dari keberagaman di dalam masyarakat. Menolak pendekatan normatif. Kaum behavioralis menolak hal-hal normatif yang dikaji dalam pendekatan institusionalisme karena pendekatan normatif dalam upaya menciptakan “pemerintahan yang baik” itu bersifat bias.
Menekankan pada analisis individual. Kaum behavioralis menganalisis letak atau pengaturan aktor politik secara individual karena fokus analisisnya memang tertuju pada analisis perilaku individu.
Masukan (inputism) yang memperhatikan masukan dalam sistem politik (teori sistem oleh David Easton, 1953) atau tidak hanya ditekankan pada strukturnya saja seperti dalam pendekatan institusionalisme.
Pendekatan kelembagaan baru atau the new institutionalism atau the new institutionalism lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti ekonomi dan sosiologi. Berbeda dengan institusionalisme lama yang memandang institusi negara sebagai suatu hal yang statis dan terstruktur, pendekatan kelembagaan baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu. Kelembagaan baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis atau perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh aktor beserta juga dengan segala pilihannya.
Ketiga pendekatan ini memiliki cara pandangnya tersendiri dalam mengkaji sekaligus mengkritik pendekatan yang lain.
Aplikasi Kecerdasan Politik
Setelah mendalami perjalanan pergerakkan warga negara di arena politik global, tentu lahir sebuah pertanyaan besar : “Bagaimana seharusnya seorang warga negara mengaplikasikan “kecerdasan politik” dalam kehidupan sehari-hari ?”. Pertanyaan ini sangat menarik untuk kita kaji. Kenapa demikian, karena kondisi masyarakat bangsa ini sedang terombang-ambing arus politik global, dimana hilangnya rasa percaya diri baik dalam interaksi antar warga negaranya, interaksi dengan bangsa-bangsa dunia maupun tidak bisa mempercayai orang –kelompok- yang lain.
Pertama, dengan berakhirnya masa Orde Baru diganti oleh Orde “Reformasi” apalagi dengan munculnya BJ Habibie sebagai Presiden RI ke 3 (tiga), dimana kran kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat dibuka, maka seluruh lapisan masyarakat baik Eksekutif, Legislatif, masyarakat biasa, bahkan tukang becak sekalipun, mereka begitu lantang mengeluarkan pernyataan-pernyataan politik, argumen dan analisa politik bak sebagai politisi. Tetapi pada perkembangan selanjutnya ketika perubahan negara yang diharapkan akan mampu merubah kondisi rakyat pada satu tingkatan -kemakmuran rakyat-, akhirnya mereka kecewa ketika lembaga yang diharapkan mampu menjadi corong kebebasan melalui keterwakilan di lembaga-lembaga politik seperti DPR/MPR ternyata tidak mampu menjawab problematika hidup mereka, tapi justeru sebaliknya para politisi yang menjadi “kareueus” (kebanggaan . pen) mereka, hanya asyik sibuk mengurusi diri sendiri dan keluarganya saja bahkan tidak kurang mereka hanya menambah sesaknya ruang-ruang tahanan gara-gara ulah mereka yang telah melakukan tindak korupsi dan penyelewengan-penyelewengan lainnya. Tragis memang bangsa ini.
Kedua, akibat dari kondisi di atas masyarakat Indonesia sekarang kembali pada kondisi hilang kepercayaan, saling meragukan satu dengan yang lainnya bahkan cenderung apatis. Kepercayaan terhadap partai-partai mulai pudar, karena ternyata partai hanya menjadikannya (rakyat pen) sebagai obyek politik belaka, ketika tujuan politiknya tercapai, maka rakyat ditinggalkan begitu saja. Kondisi inilah yang mejadi penyebab sebegitu tercorengnya pemerintahan Indonesia di mata rakyatnya, apalagi di mata dunia Internasional. Peristiwa kenaikan harga BBM disa’at harga dasar minyak dunia turun, masih menjamurnya gerakan-gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dsb, hal tersebut merupakan realitas politik yang tidak bisa kita pungkiri. Kondisi tersebut sungguh menambah kelamnya sejarah bangsa ini.
Ketiga, bagaimana seharusnya seorang warga negara berperan dalam mengapresiasi peta politik negara ini ?. Jawabannya ada pada sejauhmana naluri kebangsaan warga negara tersebut, realitas politik bangsa tentunya dapat dijadikan salah-satu argumentasi politik. Masyarakat tidak perlu melakukan kesalahan politik lagi, sebab kekuatan politik saat ini sudah tidak lagi berada di tangan partai-partai politik, tetapi berada di tangan kekuatan rakyat, LSM, dan Organisasi Masyarakat. Partai Politik saat ini sedang mengalami kehilangan rasa percaya diri, maka mereka banyak melakukan Political Intrude (politik yang bermaksud mengganggu) dengan dalih “silaturrahmi politik”. Sekali lagi hal tersebut di atas merupakan jebakan politik saja.
Sikap politik masyarakat sesungguhnya tidak diarahkan pada proses dukung mendukung, tapi dapat dimaknai ; bagaimana masyarakat sebagai warga negara merealisasikan “the hidden program” nya yaitu : “Terlaksananya masyarakat yang Baldatun toyyibatun wa robun gofuur”. Masyarakat tidak perlu bermain api masuk ke dalam jebakan politik yang mereka siapkan, tetapi masyarakat harus mampu mengatur arus politik bangsa dengan menyiapkan kader warga negara yang memiliki militansi (dalam pemahaman makro), tidak tertipu oleh janji-janji politik dengan melakukan langkah politik yang -justeru- akan merusak harga diri rakyat; menjual kekuatan rakyat dengan memberikan dukungan baik terhadap partai-partai politik maupun kepentingan-kepentingan politik seseorang di setiap wilayah politik praktis.
Makna partisipasi politik –penekanannya- bukan pada proses dukung mendukung, tetapi masyarakat cerdas harus siap jadi bagian yang utuh, independen, dan memiliki karakter yang jelas, tegas dan berakhlakul karimah, yaitu bertanggungjawab penuh untuk mewakili rakyat dalam percaturan politik praktis, tidak mencampur adukan kepentingan dirinya, harus mampu membawa karakter “Rakyat” dimanapun mereka beraktifitas, bukan justeru sebaliknya dia membawa karakter “luar” dan melakukan uji coba politik di dalam wilayahnya sendiri.
Khatimah Sayid Muhammad Baqir ash-Shadr mengatakan bahwa: “Orang Barat -Yahudi dan Nashrani- dalam membangun peran politiknya lebih melihat ke bumi dengan berdasarkan spirit penguasaan, sehingga bertendensi materialis, sedang orang Timur -Islam- lebih melihat ke langit karena perintah langit (Allah) memposisikan mereka sebagai khalifah di muka bumi, sehingga bertendensi religius.
DAFTAR PUSTAKA
Fritjof Capra, The Turning Point -Titik Balik Peradaban, Jejak , Yogyakarta, 2007
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Michael T. Gibbons, Tafsir Politik, Tela’ah Hermeneutis Wacana Sosial Politik Kontemporer, Qalam, Yogyakarta, 1987
Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilizations and Remaking of World Order”,Benturan Antar Peradaban, Qalam, Yogyakarta, 2002.
Komentar