Oleh : Basri Amin
Kolumnis
TUBUH menjadi urusan yang makin rumit. Itulah antara lain ciri baru masyarakat manusia di jaman now! Orang banyak gusar dengan kondisi tubuhnya dan hal-hal lain yang berhubungan: kecerahan kulit, guntingan rambut, ukuran tubuh, bau badan, model pakaian, dan asesori. Ada “emosi tubuh” yang tak menentu setiap hari yang terus-menerus memicu pencarian kebenaran-kebenaran baru di sektor kesehatan.
Di ruang-ruang pasar, selain makanan, benda-benda yang berurusan dengan tubuh semakin dominan diperjual-belikan. Belum lagi soal jasa-jasa yang menyertainya: barbershop, salon-salon kecantikan, SPA, massage, dan beragam “bisnis tubuh” lainnya. Tak jarang, klinik-klinik untuk kulit dan perawatan tubuh lainnya menjadi laku di mana-mana. Jaringannya pun menghiasi lanskap kota-kota kecil dan menengah di negeri ini.
Gejala ini berjalan seiring dengan perkembangan lain: pengobatan/penyembuhan herbal, klub-klub kebugaran, komunitas senam, dan terapi-terapi “teknologis” lainnya. Tak jarang, di beberapa tempat, pelan-pelan tapi pasti, mulailah terbentuk kelas-kelas sosial baru hal mana ukuran membership-nya ditentukan oleh brand, harga layanan, style lokasi, profil promosi, dan kekhususan jasa-jasa lainnya.
Dunia semakin heboh dalam urusan tubuh. Laporan internasional dari Organisasi Pangan dan Pertanian, FAO (2018) memberi penegasan serius tentang bahaya obesitas (kegemukan) di Asia Pasifik. Kegemukan bahkan telah menjadi masalah kalangan anak dan remaja. Secara meyakinkan, dengan obesitas yang tak terkendali, resiko penyakit diabetes tipe 2, darah tinggi dan penyakit hati pun meningkat. Ditengarai, satu di antara sekian banyak sebabnya adalah faktor perubahan gaya hidup, terutama pola makan. Nasi terlalu dominan di Asia Tenggara, dan masih banyak warga yang miskin kesadaran mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah bermutu. Belum lagi jenis makanan lain yang kadar garam, gula dan lemaknya tak terkendali.
Ekonomi yang semakin membaik ternyata melahirkan “mental orang kota”. Waktu lebih banyak dipakai di luar rumah, sibuk dengan jaringan perkawanan, aktif dengan smartphone, dan, -–ini yang amat khas–: bisa makan di mana-mana!. Tradisi kuliner lokal dan nusantara, tak terkecuali menu Barat dan Timur pun sudah tersaji dengan bebas. Semua membentuk kelas, gaya, pilihan dan ruang yang menyebar. Terasa bahwa dengan (gaya) makan, kita lalu eksis!”.
Waswas juga tampaknya. FAO menghitung bahwa butuh sekitar Rp. 2,3 triliun setiap tahunnya untuk menangani obesitas. Oleh CNN Indonesia, dengan merujuk Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) tahun 2016, sangat jelas bahwa 20,7 % penduduk dewasa di Indonesia mengalami obesitas. Data ini cukup serius meningkat dari angka 15,4% pada tahun 2013. Negeri ini memang unik: angka kegemukan meningkat, tapi kasus kekurangan gizi juga masih jadi berita di banyak wilayah. Jika demikian, kita butuh lebih peduli pada tubuh. Bukankah dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat? Mens sana in corpore sano!***
Komentar