Oleh : Deswerd Zougira, SH (Aktivis Anti Korupsi)
SEPANJANG 2018 silam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) silih berganti menangkap sejumlah kepala daerah dan anggota DPRD. Ada Gubernur Jambi Zumi Zola bersama 52 anggota DPRD dan Gubernur Sumatera Utara Gatot Puji dan istrinya bersama 50 anggota DPRD terkait suap pembahasan Rancangan APBD dan Persetujuan Laporan Pertanggung Jawaban APBD serta Walikota Malang bersama 41 anggota DPRD terkait suap Uang Pokir (pokok-pokok pikiran) pembahasan APBD. Dalam sejarah pemberantasan korupsi, ini kali pertama sebuah lembaga antikorupsi dalam waktu hampir bersamaan memproes hukum kepala daerah bersama anggota DPRD dalam jumlah besar dengan modus kejahatan yang sama.
Sebelumnya KPK juga menangkap Ketua dan anggota DPR RI terkait pengadaan KTP Elektronik, Menteri dan Ketua Partai pada terkait pembangunan asrama atlet di Hambalang, serta Menteri dan Dirut BUMN terkait Pembangunan PLTU Riau I. Semua itu pun bermula dari pembahasan anggaran di DPR.
Terungkap di persidangan suap yang diterima para penyelengara negara tersebut bersumber dari rekanan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Timbul pertanyaan, mengapa suap yang berkaitan dengan pembahasan anggaran selalu saja berulang. Adakah yang salah dengan sistem kelola pemerintahan.
Sesungguhnya kasus suap itu bisa dicegah atau paling tidak diminimalisir manakala Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (ULP) sebagai bagian dari sistem kelola pemerintahan yang diberikan wewenang melelang proyek APBN(D) bebas dari pengaruh dan campur tangan – di level daerah – kepala daerah. Sayangnya ini belum bisa diwujudkan karena memang regulasinya mengatur adanya campur tangan kepala daerah.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang dipakai sebagai panduan, disebutkan Anggota ULP di daerah diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah. Syarat utama diangkat menjadi Anggota ULP harus bersertifikasi keahlian di bidang pengadaan barang dan jasa. Selebihnya – ini yang paling disukai – taat dan loyal kepada atasan yakni kepala daerah. Di sini, hemat penulis asal muasal suap bermula dan berulang.
Bagaimana tidak, hampir semua kasus suap itu berkisah tentang kepala daerah yang leluasa memerintahkan ULP untuk memenangkan rekanannya walau tidak memenuhi syarat dan ketentuan. Dan karena takut dengan atasan, ULP menempuh cara-cara curang; mulai dari pengaturan persyaratan, penetapan time limit pemasukan penawaran yang mepet, server yang mati-hidup sehingga sulit diakses, atau membujuk rekanan pesaing mundur dengan janji akan diberikan proyek lain demi memenangkan rekanan kepala daerah.
Peran vital ULP menyeleksi rekanan yang berkualitas melalui proses lelang yang transparan dan akuntabel tidak berfungsi. Kerja-kerja ULP tinggal sekadar menggugurkan kewajiban yang tertuang dalam Perpres. Praktis kuasa menentukan siapa pemenang lelang ada pada kepala daerah, bukan ULP.
Itu sebabnya kendati proyek masih dalam proses perencanaan atau pembahasan di Badan Anggaran, kepala daerah – terkadang ‘dikuasakan’ kepada orang kepercayaannya, sudah berani memungut fee. Alhasil fee proyek menjadi salah satu sumber ‘pendapatan’ terbesar selain ‘pendapatan’ dari penerbitan izin oleh kepala daerah korup.
Maka jangan heran bila ada kepala daerah yang baru satu dua tahun berkuasa sudah memiliki rekening dengan angka fantastis, hidup berkelimpahan harta, setiap akhir pekan berangkat ke Jakarta tinggal di hotel mewah bersama istri muda, bermain golf dengan rekanan, nanti pulang awal pekan bagaikan kunjangan kerja ke daerah kendati rakyatnya masih didera kemiskinan.
Sedangkan sebagian DPRD kita, yang tahu semua yang dilakukan sang kepala daerah itu, memutar otak agar bisa dapat bagian. Caranya, itu tadi, meminta uang kelancaran pada setiap kali pembahasan APBD. Kalau tidak diberi mereka menyandra pembahasannya. Kasus- kasus yang disebutkan di atas menginformasikan adanya hubungan saling ambil untung kedua belah pihak dengan taruhan uang rakyat.
Maka untuk mengerem praktik-praktik kotor tersebut pemerintah mesti segera mereformasi ULP. ULP tidak boleh lagi berada dalam kuasa kepala daerah seperti sekarang ini. ULP harus independen dan bebas dari pengaruh siapa pun.
Pertama, bentuk Komisi Pengadaan menggantikan ULP yang bertanggung jawab lansung kepada rakyat atau Presiden, bukan bertanggung jawab kepada kepala daerah, pimpinan lembaga, institusi atau menteri. Kedua, personil komisioner direkrut dari berbagai elemen masyarakat, memiliki rekam jejak positif, melalui fit and propertest, dan digaji yang patut agar tidak mudah tergoda suap mengingat tanggung jawab mengelola anggaran sangat besar. Ketiga, berikan perlidungan dari upaya kriminalisasi sebab salah satu hambatan yang dihadapi ULP di hampir seluruh daerah yakni seringnya mereka dipanggil aparat hukum yang berimplikasi menghambat kerja ULP. Keempat, Berikan sanksi tegas bagi komisioner yang melanggar aturan.
Kehadiran Komisi Pengadaan yang independen akan menciptakan iklim usaha yang kompetitif. Rekanan akan bersaing secara sehat, tidak lagi berpikir apalagi sampai berupaya melobi dan menyuap kepala daerah.
Memang tidak mudah membentuk Komisi Pengadaan yang independen. Perlu kajian yang komprehensif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Dan, pasti ada upaya perlawanan baik dari internal maupun eksternal penyelenggara negara yang menganggap kehadiran komisi mengganggu kenyamanan mereka. Tetapi semua itu bisa teratasi manakala Presiden yang memotorinya.
Sejatinya kita tidak menginginkan ada lagi kepala daerah ditangkap KPK. Lagi pula KPK tak mungkin dapat mengawasi kepala daerah yang jumlahnya ribuan itu. Kita juga tidak bisa hanya meminta kepala daerah untuk sadar dan berubah. Maka memutus hirarki kepala daerah – ULP menjadi keniscayaan.##
Komentar