Laporan : Tim Kabar Publik
Editor : Mahmud Marhaba
“Jika waktunya tiba, sedetik pun kita tidak bisa mundur dari kematian, tetapi jika belum waktunya, seperti apapun kondisi yang menghadang, InsyaAllh kita masih diberikan selamat”
GORONTALO (KP) – Kejadian yang mengerikan saat Gempa dan Tsunami di Palu menjadi perjalanan hidup seorang mantan Auditor BPK-RI, Syafrudin Mosii. Kondisi saat terjadinya bencana yang merenggut banyak jiwa itu dialaminya.
Kepada Kabar Publik, Ketua DPP Kerukunan Keluarga Indonesia Gorontalo (KKIG) itu menceritakan keberadaan dirinya saat bencana itu memperak-poranda Kota Palu Sulawesi Tengah.
Siang itu, Jumat 28 September 2018, Syafrudin Mosii berada di kantor Gubernur Sulawesi Teng untuk tugas yang dipercayakan kepadanya sebagai konsultan keuangan dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala dan kabupaten Parigi Moutong. Setiap bulan dirinya harus mengujungi Kota ini.
Gempa dengan kekuatan 5,6 SR sekitar pukul 15.00 Wita menggoncang Kota Palu. Tak ada sedikit pun pikiran atas bencana yang mengancam dirinya.
Menempati kamar 305 di hotel Swiztbell Palu, Syafrudin meminta sopir mengatarnya ke hotel berbintang yang terletak dibibir pantai Silay yang tersabung dengan pantai Talise.
Waktu mendekati pukul 17.00 wita, dirinya pun menunaikan sholat Azhar. Menanti datangnya waktu sholat Magrib, ia bergegas mengambil wudhu. Tiba-tiba, gempa dengan kekuatan 7,6 SR mengguncang Kota Palu yang kedua kalinya. Gedung yang selalu menjadi tempat langganannya beristirahat itu bergoncang seperti ayunan bayi. Penghuni hotel pun lari berhamburan keluar melawati pecahan kaca dilantai dasar hotel itu. Tidak menghitung menit, air naik begitu cepat menggenangi lantai dasar hotel.
“Segera naik ke lantai 5,” perintah pegawai hotel dengan teriakan lantang membuat penghuni hotel bertambah panik. Tak mengenal usia, jenis kelamin, semua berebut naik sesuai instruksi pegawai hotel.
Gelombang air begitu deras hingga mencapai ketinggian 4 meter. Beruntung hotel bertaraf internsional ini tak roboh seperti hotel Roa-roa yang ambruk diterjang ganasnya Tsunami. Lantai dasar hotel jebol, semua barang disedot air hingga kosong melempem.
Melihat terpaan air yang begitu kencang, Syafrudin hanya mampu berdoa dan berserah diri. Gempa susulan pun terjadi. Semua penghuni hotel terhempas. Listrik padam, meski Kota Palu masih cukup terang. Jaringan komunikasi pun mati total.
Selama 2 hari, dirinya tak bisa memberi kabar kepada keluarga yang ditinggalkan. Keluarga pun hanya dapat menyaksikan kondisi Kota Palu yang porak poranda melalui media televisi. Keluarga dan semua kerabat dekat hanya bisa pasrah dan berdoa untuk keselamatan Syafrudin Mossi ditengah musibah yang banyak merenggut banyak jiwa.
Ketika air surut, sang sopir yang baru saja mengantar Syafrudin mulai mencari tahu keberadaan dirinya. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya, sang sopir mengamati hampir semua mayat yang tergeletak tak bernyawa, mencari sosok Syafrudin.
Hanya sekitar 15 sampai 20 menit saja, air surut dan penghuni hotel langsung dievakuasi kedataran tinggi yang katanya 3 km dari hotel.
Kenyamanan tidur di hotel sirna. Semua penghuni hanya beralaskan tikar dan beratap terpal biru. Dingin menggila di malam hari, panas menyengat di siang hari dialami Syafrudin bersama penghuni hotel lainnya. Beruntung pasokan makanan dari tuan rumah masih bisa membuat korban Tsunami bertahan.
Keluarga pun belum menerima kabar atas dirinya yang lolos dari maut di Kota Palu. Beruntung ada salah seorang yang memiliki telepon seluler yang menggunakan operator XL. Dihubunginnya keluarga yang berada di Jakarta. Tangisan histeri keluarga pun pecah saat mendengar suara dibalik gagang handpone adalah suami dan orang tua mereka cintai.
Syafrudin pun akhirnya menghubungi Ketua KKIG Sulawesi Tengah yang tidak menjadi korban Tsunami. Dirinya menumpang sementara di rumah itu. Kondisi Kota Palu yang mencekam membuat dirinya nekat menuju bandara untuk cepat pulang menemui keluarga yang sudah tidak sabar menunggu. Dirinya kaget ketika melihat banyaknya warga yang ingin menumpang di pesawat Harcules bantuan TNI untuk mengangkut korban Tsunami. Meski penumpang yang diprioritaskan adalah ibu-ibu dan akan-anak,
Syafrudin tetap saja ikut antri bersama calon penumpang lainnya. Tak ada jatah untuk naik pesawat, dirinya langsung menelepon keluarga di Gorontalo untuk menjemputnya.
Cobaan pun dialami Syafrudin dengan harus bersabar menempuh perjalanan selama 24 jam untuk tembus ke Gorontalo. Longsor di daerah Toboli membuat dirinya harus menunggu hingga 10 jam. Batu sebesar mobil kijang berjatuhan dari lereng gunung akibat gonjangan gempa yang setiap hari menggoncang Sulawesi Tengah. Hanya ucapan syukur dan doa yang terus dipanjatkan Syafrudin hingga bisa berada di tanah kelahirannya bertemu dengan keluarga dan kerabat dekatnya.
Masyarakat Kota Palu, Donggala dan Sigi sangat membutuhkan pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta penerangan yang cukup untuk menjadikan Kota itu bangkit lagi. Penjarahan terjadi akibat tidak adanya toko dan pasar yang melakukan aktifitas perdagangan. Masyarakat yang selamat dari bencana Tsunami sulit mendapatkan bahan makanan untuk kelangsungan kehidupan mereka. Toko, supermarket ludes dijarah masyarakat. Sementara bahan bakar kosong. Jika ada, hargahya melambung tinggi 10 hingga 20 kali lipat dari harga normal.
“Sebagai seorang beriman, kita harus percaya, bahwa jika waktunya tiba, sedetik pun kita tidak bisa mundur dari kematian itu. Namun, jika belum waktunya, seperti apapun kondisi yang menghadang kita, InsyaAllah kita masih diselamatkan,” ungkap Syafrudin dengan penuh tawakal.
Ditengah-tengah dirinya menjadi korban Tsunami, Syafrudin Mosii masih menyempatkan diri untuk mengunjungi dan melayani korban Tsunami lainnya, dengan memberikan semangat kepada pengungsi dan mengarahkan berbagai bantuan yang disalurkan untuk mereka. #(KP)
Komentar