Laporan : Ifan Saluki
Editor : YR
GORONTALO [kabarpublik.id] – Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, mendorong Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk memperkuat upaya perlindungan anak. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak di berbagai daerah, termasuk di Gorontalo.
Hal ini disampaikan Nahar saat menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Dinas Wakil Gubernur Gorontalo, Jumat (11/10/2024).
Dalam paparannya, Nahar menyampaikan kondisi pengasuhan anak di Indonesia. Sebanyak 84,33% anak di Indonesia diasuh oleh kedua orang tua, 8,34% diasuh hanya oleh ibu, dan 2,51% hanya oleh ayah. Sementara itu, ada 4,76% anak tidak diasuh oleh orang tua kandungnya.
Nahar juga mengungkapkan data kekerasan terhadap anak yang terus meningkat selama lima tahun terakhir, dari 2019 hingga 2023. Berdasarkan laporan yang masuk, terdapat 1.212 aduan terkait kekerasan terhadap anak, dengan total korban mencapai 1.538 anak. Jenis kekerasan yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual, kekerasan emosional, dan kekerasan fisik.
“Data dari SAPA 129 menunjukkan bahwa dari Januari hingga Agustus 2024 saja, sudah tercatat 1.212 kasus kekerasan terhadap anak dengan jumlah korban sebanyak 1.538 anak,” ungkap Nahar.
Dalam upaya penanganan, Nahar menekankan pentingnya penerapan paradigma hukum pidana modern yang berlaku secara universal.
“Paradigma hukum modern tidak hanya menekankan pembalasan terhadap pelaku, tetapi juga berfokus pada keadilan korektif bagi pelaku, keadilan restoratif yang memprioritaskan pemulihan korban, dan keadilan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 telah memberikan definisi kekerasan seksual yang lebih luas, yang mendukung penanganan komprehensif mulai dari pelaporan hingga eksekusi putusan pengadilan.
Nahar menggarisbawahi bahwa korban kekerasan berhak mendapatkan penanganan, perlindungan, dan pemulihan dari negara. Hal ini mencakup hak atas restitusi dan kompensasi yang harus diberikan sesuai kebutuhan korban.
“Namun, dalam penanganan perkara kekerasan seksual, penyelesaian di luar pengadilan tidak diperbolehkan kecuali jika pelaku adalah anak-anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nahar juga menekankan pentingnya peran Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai penyelenggara layanan terpadu bagi korban.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa pencegahan kekerasan terhadap anak memerlukan peran aktif dari masyarakat dan keluarga.
“Pemantauan bersama oleh empat lembaga negara, yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, KND, serta Kementerian PPPA juga sangat penting dalam pencegahan kekerasan terhadap anak,” tuturnya.
Dengan peningkatan kasus kekerasan yang terjadi, Nahar berharap upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga akan memperkuat perlindungan bagi anak-anak di Indonesia.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung tumbuh kembang anak-anak kita,” tegasnya.
Komentar