Laporan : Tim Kabar Publik/ PR
Editor : Mahmud Marhaba
GORONTALO (KP) – Deklarasi #2019GantiPresiden rencananya akan digelar di Tugu Adipura Simpang Lima Kota Gorontalo, Jumat (7/9/18) Siang mendatang.
Sejumlah deklarator nasional #2019GantiPresiden, diantaranya Neno Warisman dan musisi Ahmad Dhani, dijadwalkan hadir di acara ini.
Ketua III Presidium Nasional (Presnas) KAMI BERANI, Risal Faisal Pou meminta pihak berwajib tidak membatasi suara rakyat yang akan melakukan deklarasi #2019 ganti Presiden di Serambi Madinah Gorontalo. Risal menegaskan warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk bebas menyampaikan pendapat mereka di depan umum.
Menurut Risal #deklarasi 2019 ganti Presiden sebagai bentuk aspirasi dan pendapat warga, ia menyatakan hal itu tidak boleh dibatasi, deklarasi#2019 ganti Presiden rencananya akan dilakukan di sejumlah daerah salah satunya di Gorontalo.
Risal Menambahkan bahwa pelarangan yang berlebihan atas aksi tersebut seperti yang terjadi dibeberapa daerah ini justru bertentangan dengan semangat konstitusi dan demokrasi.
“Bahkan penyampaiannya di muka umum merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, karena UUD Negara RI 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul,” kata Risal dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/8/2018).
Ia menjelaskan, secara operasional hak untuk bebas berpendapat dan berkumpul dijamin dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Tata Cara Mengemukakan Pendapat di muka umum.
Namun demikian, mengingat kebebasan berpendapat dan berkumpul merupakan hak yang bisa ditunda pemenuhannya (derogable rights), maka tindakan aparat keamanan yang melarang beberapa acara tersebut dapat dibenarkan.
Alasan-alasan obyektif dimaksud dapat berupa potensi instabilitas keamanan, potensi pelanggaran hukum baik dalam terkait konten kampanye yang oleh beberapa pakar bisa dikualifikasi makar, pelanggaran hukum pemilu, khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun dalam konteks waktu kampanye.
Penggunaan alasan-alasan tersebut merupakan hak subyektif institusi keamanan yang bertolak dari analisis situasi dan potensi destruktif lainnya dan dibenarkan oleh UU 9/1998 dan peraturan turunannya.
“Sebagai hak subyektif, maka jika masyarakat tidak menerima langkah pembatalan, maka bisa mempersoalkannya melalui mekanisme hukum,” kata Risal.
Risal mengatakan, polisi, dengan bekal sejumlah regulasi seperti UU 9/1998 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60/2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik, memiliki kewenangan melakukan pembatalan suatu kegiatan.
Namun, untuk menjaga akuntabilitas kerja, aparat keamanan harus menyampaikan alasan-alasan pembatalan itu pada pihak yang hendak menyelenggarakan kegiatan.
“Warga harus disuguhi informasi alasan-alasan faktual untuk memilih atau tidak memilih seorang calon. Bukan diprovokasi dengan slogan yang tidak mencerdaskan,” ujarnya.#(KP)
Komentar