Dr. Wawan Gunawan (Wagoen) – Akademisi Eksplorasi Dinamika dan Analisis Sosial (EDAS) Bandung
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada di Pasal 7 huruf r disebutkan bahwa “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu (1) kali masa jabatan.
Oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pasal ‘dinasti politik’ itu dihapuskan karena bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945. MK melalui Putusan No. 33/PUU- XIII/2015 telah memberikan landasan legal formal bagi politik dinasti di Indonesia dengan alasan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dalam pilkada. Putusan MK ini bisa dimaknai bahwa MK telah melegalkan keluarga petahana dalam pilkada sehingga memperkuat praktik politik dinasti.
Jadi politik dinasti dihalalkan oleh putusan MK tersebut. Sebetulnya kuncinya ada tiga, yaitu:
1) Kualitas sang calon, mau turunan pejabat mau rakyat biasa yang penting kualitas ketokohannya teruji.
2) Prosedur pencalonannya memiliki standard baku dan dilaksanakan secara terbuka.
3) Publik atau rakyat pemilih cerdas tidak lagi mau disuap dengan kaos uang dalam aplop, snack dan uang transfor. Rakyat sebagai sang pemilih benar-benar harus memiliki referensi rekam jejak para calon.
Jadi masalahnya bukan politik dinasti atau tidak tapi ada pada kualitas rakyat sebagai pemilih dan pemilik kedaulatan. Kalau yang lahir adalah jenis pemimpin yang buruk itu merupakan representasi dari kualitas buruk nya rakyat pemilih. Kalau rakyat kualitasnya “kambing” maka yg akan lahir adalah pemimpin yang kualitasnya “kambing” juga. Kalau rakyat ingin agar dipimpin oleh harimau maka rakyatnya harus berkualitas setara harimau.
Untuk demokrasi politik dinasti akan menjadi tahap pembelajaran sebab disetiap negara fase demokrasi yang melahirkan politik dinasti selalu ada. Di USA, India misalnya. #*[J-KP].
Komentar