Oleh : Apriyanto Nusa, SH., MH
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UNISAN Gorontalo, dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Brawijaya)
NALAR kritis kita dipaksa untuk bekerja, menguliti satu-persatu produk legislasi wakil rakyat yang akhir-akhir ini mendapat penolakan secara masif dibeberapa tempat. Fenomena penolakan tersebut bukan persoalan setuju atau tidak setuju, toh juga ketidaksetujuan kita tidak berpengaruh banyak terhadap keabsahan yuridis ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah selesai diparipurnakan. Tapi lain dari itu, yang penting dipikirkan adalah persoalan keselamatan dan masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penulis sendiri, telah beberapa kali membaca dan menghatamkan beberapa substansi perubahan UU KPK. Ternyata “suasana kebathinan” para penggiat anti korupsi, terhadap keberadaan UU KPK terbaru sangatlah beralasan. Terdapat hal yang mengkhawatirkan dan kekeliruan didalam perumusan UU anti rasuah tersebut. Paling tidak, dalam tulisan ini ada 2 (dua) materi/substansi yang perlu untuk diluruskan, yaitu :
Pertama; KPK diberikan kewenangan menghentikan penyidikan (SP3) dan menghentikan Penuntutan (SKP2). Kewenangan ini dituangkan dalam Pasal 40 ayat (1) yang menegaskan bahwa : “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”. Ketentuan a quo merubah rumusan Pasal 40 sebelumnya yang menegaskan bahwa : “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”. Kedua; Dibentuknya Dewan Pengawas KPK dalam Bab VA, khususnya yang berkaitan dengan tugas Dewan Pengawas dalam ketentuan Pasal 37B ayat (1) huruf b yang menegaskan bahwa : “Dewan pengawas bertugas : ..b. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan”.
CATATAN KRITIS
Pertama; Kalau kembali kedalam ketentuan KUHAP, baik penyidikan maupun penuntutan, kedua kewenangan tersebut diletakkan pada 2 (dua) institusi penegak hukum yang berbeda dan berdiri sendiri. Kewenangan penyidikan diberikan kepada institusi kepolisian, sementara kewenangan penuntutan diberikan kepada institusi Kejaksaan (asas diferensiasi fungsional). Ketika dilakukannya proses pro justitia terhadap suatu perkara pidana, kedua institusi penegak hukum tersebut memiliki fungsi saling mengawasi (Pengawasan Horizontal). Misalnya, ketika penyidik kepolisian menghentikan penyidikan suatu peristiwa pidana, maka wilayah pengawasan (control) ada di Institusi kejaksaan dengan melakukan perlawanan ke lembaga praperadilan. Begitupun sebaliknya, ketika kejaksaan menghentikan penuntutan peristiwa pidana, maka wilayah pengawasan (control) ada di Institusi Kepolisian.
Khusus untuk Institusi KPK, dasar philosophy tidak diberikannya kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan, dikarenakan dilembaga anti rasuah tersebut ada 2 (dua) kewenangan (penyidikan dan penuntutan) yang melekat secara bersamaan dan tidak terpisah seperti yang diatur dalam KUHAP. Sebab, tidak logis apabila KPK yang memiliki 2 (dua) kewenangan secara bersamaan, tetapi diberikan juga kewenangan untuk menghentikan penyidikan maupun penuntutan. Apakah mungkin, ketika penyidik KPK menerbitkan penghentian penyidikan (SP3), kemudian jaksa KPK sebagai fungsi pengawasan (control) melakukan perlawanan ke lembaga praperadilan? atau ketika jaksa KPK menghentikan penuntutan, penyidik KPK sebagai fungsi pengawasan (control) juga melakukan perlawanan ke lembaga praperadilan? Inilah hal yang tidak mungkin dilakukan, karena baik penyidik KPK maupun jaksa KPK merupakan satu kesatuan unsur yang bekerja disatu lembaga yang sama. Kewenangan penghentian penyidikan (SP3) maupun penuntutan (SKP2) lebih tepatnya diberikan kepada institusi yang berdiri sendiri dan kewenangannya terpisah.
Dengan uraian diatas, kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam UU KPK terbaru in concreto Pasal 40 ayat (1) adalah tidak tepat dan keliru secara philosophy.
Kedua; Kalau kita buka kembali lembaran historis dari lahirnya lembaga praperadilan sebagai fungsi pengawasan dalam criminal justice system. Maka ditemukan konsep pengawasan itu diberikan kepada hakim komisaris (konsep tahun 1974). Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus dibawah pengawasan (dwang middelen) hakim komisaris, bahkan dapat menilai apakah upaya paksa sesuai ataukah bertentangan dengan hukum. Hanya saja, konsep hakim komisaris tahun 1974 ini berubah ditahun 1979 yang sekarang dikenal dengan lembaga praperadilan. Salah satu alasan yang paling mendasar tidak diterimanya hakim komisaris sebagai pengawas upaya paksa, adalah untuk menghindarkan proses pro justitia dari pengaruh kepentingan politik eksekutif (pemerintah). Sebab, kehakiman pada waktu itu berada dibawah kekuasaan pemerintah (kementerian kehakiman).
Konsep UU KPK terbaru, kelihatannya sedikit mengikuti model Hakim Komisaris yang pernah ditinggalkan tersebut, dengan wujud Dewan Pengawas. Beberapa upaya paksa berupa penggeledahan, penyitaan bahkan penyadapan yang menjadi senjata ampuh KPK harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. Padahal, dewan pengawas sendiri masih memiliki relasi yang kuat dengan presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena secara berkala, sekali dalam setiap tahun, dewan pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan langsung kepada presiden dan DPR (Pasal 37B ayat 2 dan 3). Pola hubungan seperti ini yang dikhawatirkan akan menghambat proses penanganan tindak pidana korupsi di KPK. KPK lebih khusus dewan pengawasnya dikhawatirkan akan berada dalam pusaran kepentingan politik kekuasaan, dan ini tidak sehat untuk masa depan KPK yang diharapkan menjadi panglima dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dari kedua problem hukum diatas, penting untuk meluruskan kembali keberadaan UU KPK yang terbaru, dan mengembalikannya pada cita-cita mulia reformasi. Adapun cara yang tersisah bisa dilakukan yaitu, menggugah hati nurani presiden dengan menerbitkan Perppu, atau membawa materi pasal-pasal yang bermasalah tersebut ke meja Mahkamah Konstitusi, seraya berharap moral justice dari ketukan palu sang hakim Konstitusi.#(**).
Komentar