SUMBA [KP] – Viralnya video kawin tangkap Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menggambarkan kekerasan terhadap perempuan menuai reaksi dari Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) yang mendesak Gubernut NTT Viktor Bungtilu Laiskodat untuk melarang tradisi kawin tangkap.
Sesepuh Masyarakat Adat Marapu Sumba Barat, Rato Rumata Lado Regi Tera dalam keterangan tertulis (30/06/2020) menyatakan kasus yang diduga sebagai tindakan ‘kawin tangkap’ oleh orang- orang Sumba terutama dengan pemaksaan dan kekerasan bukan merupakan bagian tradisi warisan Marapu yang menjunjung tinggi perempuan dan mendasarkan setiap perikatan, termasuk perkawinan, pada musyawarah dan kesepakatan.
“Kawin tangkap bukan bagian dari sistem nilai utama maupun sistem kepercayaan Marapu, melainkan penyimpangan dari sistem pernikahan adat Marapu yang dilakukan berulang-ulang untuk mensiasati adat,” jelasnya.
Menurut Lado Regi Tera kawin tangkap dengan kekerasan adalah bentuk penyalahgunaan adat. Pendidikan laki-laki dan perempuan Sumba mendesak untuk dilakukan agar setiap laki-laki dan perempuan Sumba dapat menempatkan diri sebagai subyek yang berkarakter dan arif.
“Seyogyanya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial seorang laki-laki atau perempuan Sumba, semakin dalam pula pemahamannya terhadap kearifan lokal-universal maupun kontekstual dari adat-istiadatnya sendiri, dan bukan menjadi persona yang tercerabut dari akar budayanya, mengalami gegar budaya, dan membuat pernyataan-pernyataan atau tindakan-tindakan yang mendiskreditkan nilai budaya dan adat-istiadatnya sendiri, serta meresahkan masyarakat,” tegasnya.
Setiap peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, termasuk Sumba, selayaknya dibentuk untuk mengukuhkan nilai-nilai luhur dan praktik-praktik terbaik Marapu sebagai bagian dari penghormatan terhadap hak asasi masyarakat tradisional yang diakui oleh hukum nasional, termasuk di dalamnya, menjunjung kedudukan dan hak- hak perempuan untuk memasuki perkawinan dengan sebaik-baiknya.
“Penyalahgunaan adat di Pulau Sumba yang berdampak amat merugikan dan atau mengakibatkan jatuhnya korban harus diselesaikan melalui prosedur penegakan hukum nasional serta pemberlakuan hukum adat berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lokal Marapu,” imbuh Lado Regi Tera.
Lebih lanjut pihaknya mengingatkan para penyebar video dan informasi yang mendeskreditkan tradisi dan budaya Sumba.
“Informasi-informasi virtual yang mengandung unsur kekerasan dan dinarasikan sebagai nilai budaya dan adat-istiadat Sumba merupakan obyek yang harus diperiksa validitasnya sekaligus obyek yang dapat diperkarakan secara hukum jika validitasnya tidak terbukti,” tandasnya.
Dilain pihak Antropolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Ira Indrawardana, S.Sos., M.Si menyatakan terkait kasus kawin tangkap yang viral, menurutnya sudah dan sedang diperjuangkan oleh Komnas Perempuan.
“Informasi yang beredar di media massa dan elektronik cenderung bersifat subyektif menyusutkan secara diskriminatif dan framing,” ujarnya via WA, Kamis (03/07/2020).
Menurutnya, Informasi itu sengaja diboomingkan karena ketidaktahuan kalangan pendeta muda asal NTT sendiri yang tidak paham budaya mereka sendiri.
“Kalangan pendeta sepuh tidak mempermasalahkan alias memahami budaya perkawinan adat sesungguhnya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal,” tutupnya. #*[KP].
- Laporan: Jumadi
- Editor: Jumadi
Komentar