Laporan : Tim Kabar Publik (JMSI), Editor : Mahmud Marhaba
GORONTALO [KP] – Pro kontra rekomendasi Bawaslu Kabupaten Gorontalo kepada KPU agar menjatuhkan sanksi administrasi kepada calon kepala daerah petahana Nelson Pomalingo masih terus bergulir. Bawaslu menilai sang petahana ini melanggar pasal 71 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Sedangkan mereka yang kontra menilai rekomendasi Bawaslu itu tidak jelas alias abu-abu.
Pasal 71 ayat (3) itu menyebutkan: “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan tanggal penetapan pasangan calon terpilih”. Sanksi atas pasal ini dicoret dari daftar calon.
Nah, bagaimana membaca pasal ini? Menurut Michael Barama, dosen hukum pidana pada Universitas Sam Ratulangi Manado, ada lima unsur dalam pasal 71 ayat (3). Kelima unsur itu adalah : Pertama, kepala daerah dan wakil. Kedua, menggunakan kewenangan, program dan kegiatan. Ketiga, menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Keempat, di daerah sendiri atau daerah lain. Kelima, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan tanggal penetapan pasangan calon terpilih.
Menurut Michael, untuk menetapkan kepala daerah atau wakil melanggar pasal dan ayat tersebut maka kelima unsur itu harus diuraikan satu per satu dalam pertimbangan yang didukung saksi dan alat bukti. Sebelumnya saksi harus berjanji atau bersumpah memberikan keterangan yang benar. Keterangan para saksi harus berkesesuaian dan diperkuat alat bukti.
“Bila dari kelima unsur itu satu unsur saja tidak dapat dibuktikan, maka tidak dapat disebut sebagai pelanggaran atas pasal dan ayat dimaksud”, tegas Michael yang sering dimintai pendapat hukumnya sebagai ahli oleh Polda Gorontalo dan Sulut itu.
Masih kata Michael, prosedur itu juga dipakai hakim pengadilan dalam membuat putusan. Prosedur ini memudahkan semua orang untuk menilai apakah putusan sudah sesuai keterangan saksi dan bukti atau tidak.
Sementara praktisi hukum Deswerd Zougira mengatakan, untuk menghindari membuat putusan yang abu-abu anggota Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) dan KPU (Komisi Penyelenggara Pemilu) sebaiknya ada yang berlatar belakang sarjana hukum dan bisa menguraikan unsur-unsur pasal dan ayat terutama dalam UU Pilkada. Ini sangat penting agar dalam membuat putusan nanti berdasarkan fakta, tidak berdasarkan asumsi. Karena bila tidak akan berimplikasi luas.
Menurut pengamatan dia, keputusan (rekomendasi) Bawaslu Kabupaten Gorontalo yang memuat pelanggaran oleh petahana hingga menimbulkan pro kontra di masyarakat dan berujung lembaga tersebut dilaporkan ke DKPP dapat dijadikan rujukan lemahnya lembaga tersebut merumuskan unsur per unsur pasal 71 dan ayat (3) yang didukung saksi dan bukti dalam membuat pertimbangan.
“Ini bisa terjadi karena rekrutmen para penyelenggara Pilkada masih sarat kepentingan sehingga mengabaikan kualitas, terutama dari sisi penguasaan dan pemahaman hukumnya”, tegas Deswerd.#[KP]
Komentar