Guru TBC (TidaK Bisa Computer)

GORONTALO, OPINI1995 Dilihat

Oleh : Ditya Ibrahim, Ansar, Hariadi Said, Arwildayanto (Mahasiswa dan Dosen Program S3 Pendidikan UNG)

GORONTALO [kabarpublik.id] – Era digitalisasi seolah menjadi bagian yang integral dalam tatanan kehidupan manusia masa kini. Bahkan kini jutaan masyarakat dunia sangat bergantung pada teknologi digital. Tentu hal ini ada dampak positif dari digitalisasi yaitu mempermudah aktivitas manusia. Era Digital disebut sebagai revolusi, dimana perubahannya begitu sangat pesat dan terjadi di luar kontrol manusia. Hampir disegala lini kehidupan manusia, kini telah terakomodasi dengan teknologi digital, termasuk dalam bidang pendidikan. Banyak perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan dalam kurun waktu belakangan ini, misalnya dalam proses pembelajaran yang dulunya dilaksanakan secara konvensional (tatap muka) sekarang bisa dilakukan dengan bertatap maya dengan berbantuan teknologi.

Digitalisasi dalam konteks pendidikan tentu membutuhkan perhatian yang tidak main-main, mengingat dunia pendidikan merupakan sebuah sarana yang paling efektif dalam melakukan penyebaran iptek. Perkembangan Iptek di era Globalisasi kini menyebabkan seluruh negara yang ada di dunia ikut berevolusi dan bertansformasi menjadi negara-negara yang meng-global yang diikuti dengan banyaknya masyarakat dunia menjelma menjadi masyarakat global. Indikasinya, bayi yang lahir pada abad XXI disebut sebagai “iGeneration”, yaitu “manusia generasi internet” yang tentunya sangat familiar dengan dunia teknologi, informasi, dan komunikasi.

Lahir di zaman yang berbeda, komposisi otak pun tentu sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Kenyataan ini adalah fakta yang saat ini dapat kita temui, khususnya di persekolahan. Tidak heran jika sering terjadi kesenjangan antara siswa dan guru. Kondisi itu dirasakan hingga sekarang dan menjadi tantangan pendidikan ke depan. Banyak guru yang gagap dalam mengejar perkembangan teknologi. Tidak hanya bermasalah dalam menggunakan teknologinya, masih banyak guru yang juga belum mampu mendalami bahwa yang dihadapinya adalah manusia dengan otak digital.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Secara langsung Undang-Undang juga telah mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kompetensi untuk menghadapi segala tantangannya.

Menyikapi hal tersebut, guru sebagai aktor utama pendidikan tidak boleh tutup mata dan terlena dengan keadaannya. Guru harus ikut bertansformasi mengikuti perkembangan zaman artinya guru harus memiliki sosok mimikri, yang harus pandai-pandai menyesuaikan diri di mana pun dan dalam situasi apa pun mereka berada. Guru hari ini harus lebih pintar dan cerdas dibandingkan muridnya dalam menyikapi perkembangan teknologi yang semakin melesat. Sebagai guru tentu tidak boleh kalah dalam penguasaan teknologi dibandingkan dengan muridnya. Jangan sampai seorang guru memiliki penyakit TBC (tidak bisa computer), mengingat anak didik lebih akrab dengan dunia teknologi dan komunikasi. Keterbelakangan guru dalam dunia iptek akan menjadi boomerang yang akan memengaruhi profesionalitas pedagogiknya.

Terlepas dari persoalan tersebut, seorang guru mutlak harus terus menerus meng-asah keterampilannya dengan teknologi, karena guru dituntut untuk dapat melahirkan generasi muda yang mampu menghadapi perubahan teknologi. Mengapada demikian? Karena, peran manusia mengalami disrupsi dengan banyaknya peran manusia ini yang tergantikan dengan mesin-mesin dan kecerdasan buatan komputer (AI). Untuk itu, guru dituntut setidaknya memiliki “Karakter Guru Abad 21”, yaitu:

Pertama, terampil membuat media pembelajaran yang menarik. Guru di era digital dituntut untuk memiliki keterampilan menciptakan pembelajaran yang bisa menarik minat dan perhatian siswa digital native. Dalam hal ini, kreativitas menjadi hal yang wajib dimiliki guru atau calon guru, artinya guru harus berinovasi dan berimpovisasi dalam pembelajaran minimal dengan menghadirkan media pembelajaran yang interaktif dalam menunjang proses pembelajaran muridnya. Media pembelajaran yang diciptakan oleh guru hendaknya bersifat multi modal dalam berbagai format, misalnya menciptakan media pembelajaran yang berbentuk visual berupa diagram atau infogram, media audio semacam Podcast atau audio books, pun media audio-visual seperti animasi video pembelajaran.

Kedua, Terampil dalam memanfaatkan social media dalam konteks pendidikan. Social media atau media sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan lagi bagi siswa digital native, terutama mereka yang tinggal di perkotaan. Saat ini banyak dari kalangan siswa yang acap kali menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjelajahi atau sekedar meng-scroll social media pribadinya.

Social media sering dianggap sebagai sarana hiburan, tidak hanya menjadi sarana hiburan. Social media kini bertansformasi menjadi alat vital dalam lingkup pendidikan, misalnya selain dapat dimanfaatkan sebagai saluran komunikasi antar guru dan siswa, ini pun dapat juga dimanfaatkan dalam menunjang pembelajaran di era digitalisasi yaitu dengan memanfaatkan platform pendidikan seperti e-learning yang dapat dipadukan dengan watsapp dan semacamnya. Keterampilan guru dalam memanfaatkan social media sangat diperlukan pada masa kini. Untuk mengimbangi karakteristik siswa yang sudah mengenal media sosial sejak dini, guru tentu harus mampu beradaptasi dan terus mengasah keterampilannya. Guru yang bisa memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi dengan siswa akan menciptakan hubungan bersifat personal engagement di luar kelas.

Ketiga. Terampil menggunakan search engine untuk mencari materi pembelajaran. Textbook bukan lagi sebuah “kitab suci” bagi guru dalam proses pembelajran di era digital. Materi pembelajaran yang tersedia luas di internet kini menawarkan konten yang lebih beragam, fresh dan up-to-date. Karena itu, guru hendaknya terampil dalam menggunakan search engine untuk mencari dan memilih konten terbaik yang dapat mendukung aktivitas belajar siswa. Keterampilan menggunakan konten global sebagai bagian dari sumber pembelajaran akan memudahkan guru untuk mengembangkan materi.

Keempat, Terampil menciptakan game-based learning. Pengaplikasian game based learning pada proses pembelajaran akan mengajak siswa belajar sekaligus bermain, yang hal ini menjadi salah satu keterampilan lain yang harus dimiliki guru di era digitalisasi. Pembelajaran yang dipadupadankan dengan aktivitas bermain dapat menstimulisasi siswa dalam berpikir kritis. Jenis games yang diharidkan dalam pembelajaran, harus memiliki tujuan yang dapat mendukung kemampuan berpikir tersebut.

Namun sayangnya, kondisi guru saat ini belum sepenuhnya siap mendukung harapan-harapan tersebut. Sekolah-sekolah masih banyak dihuni oleh guru yang TBC (tidak bisa computer) dan gagap teknologi serta enggan bertansformasi untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini. Beberapa alasan yang menjadi penyebab guru-guru yang TBC (tidak bias computer) dan gagap teknologi, yaitu:

Pertama, Guru tidak menguasai IT. Alasan pertama yang dikemukakan guru untuk tidak memanfaatkan teknologi dalam pembelajarannya yaitu karena mereka tidak menguasai teknologi. Rupanya masih ada guru yang berpenyakit TBC (tidak bisa computer) dan gaptek (gagap teknologi). Padahal sesungguhnya belajar komputer tidaklah serumit yang dibayangkan. Apalagi, Para guru sudah dibekali dengan mengenal huruf, jadi kalau hanya mengetik lewat keyboard tentunya tidak sulit. Soal lancar atau tidak lancar, hal ini tentunya bergantung pada seberapa sering dan kesungguhan guru dalam belajar. Jadi, kalau guru mau belajar, pasti mereka akan bisa.

Kedua, Guru tidak mau repot-repot. Guru sudah terbiasa mengajar dengan caranya yang sudah dilakukan sejak lama. Mereka sudah hafal (di luar kepala?) langkah-langkah pembelajaran yang harus dilaksanakan dalam setiap pertemuan dengan peserta didik. Apalagi kalau guru mengajar di kelas yang sama selama bertahun-tahun. Lantas, bagaimana mendapatkan hasil belajar yang luar biasa jika gurunya mengajar dengan cara yang biasa-biasa saja (ceramah, pemberian tugas, ulangan). Harap dimaklumi bahwa untuk mendapatkan hasil belajar yang luar biasa dibutuhkan kerja yang luar biasa pula–bukan kerja yang biasa-biasa saja. Dan untuk ini guru harus mau merepotkan dirinya dengan melakukan pembaruan-pembaruan (inovasi) dalam proses pembelajaran di kelas.

Ketiga, Comfort Zone. Rutinitas guru dalam melaksanakan pembelajaran dari hari ke hari telah membentuk sebuah wilayah kenyamanan tersendiri bagi mereka. Mereka, yang pada awalnya mungkin harus menyesuaikan diri dengan situasi baru sehingga membuat hati mereka tidak nyaman, seiring dengan berjalannya waktu dan rutinitas yang berlanjut, pada akhirnya mereka akan menemukan kedamaian dan kenyamanan pada situasi tersebut. Manusiawi jika orang ingin tetap berada di zonanya. Guru yang sudah berada di zona nyaman ini juga enggan untuk meninggalkan zona tersebut.

Kualitas guru yang hampa akan teknologi tidak akan mampu menanamkan “daya kritis” kepada murid untuk menjadi manusia revolusioner. Sehingga mereka terhambat untuk menggali potensi dirinya. Guru yang TBC (tidak bisa computer)  dan gaptek (gagap teknologi) akan menurunkan derajat kredibilitasnya didepan muridnya sehingga murid cenderung bersikap underestimate, seolah-olah guru adalah orang dungu di tengah dunia metropolitan.

Ini fenomena yang sering ada dan terjadi di sekeliling kita. Guru boleh produk tahun 80-an, tapi kapasitas keilmuannya tidak boleh kalah dengan persaingan zaman. Di mana pun dan kapan pun seorang guru harus lebih pintar daripada muridnya, tidak hanya dalam konteks pedagogik akan tetapi juga harus update dalam segala bidang. Menjadi seorang guru memang bukan tugas yang mudah, namun harapan pendidikan Indonesia berada di tangan para guru. “The Biggest Part Of Our Digital Transformation is Changing The Way We Think” – Simeon Preston, Bupa- Terpujilah engkau wahai para guru. #[KP]

Apa Reaksi Anda?
+1
2
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Komentar