OPINI PUBLIK] : KEMISKINAN DAN KESENJANGAN GORONTALO

OPINI466 Dilihat

Oleh: Daud Yusuf S.Kom, M.Si (Akademisi Universitas Negeri Gorontalo)

Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo merilis penurunan angka kemiskinan 0,09 % dari 15,33 % September 2019 menjadi 15,22 % bulan Maret 2020. Di satu sisi informasi ini prestasi menggembirakan. Namun, di sisi lain menimbulkan tanda tanya. Soalnya saat ini kita berada di tengah wabah covid-19. Meski Provinsi Gorontalo jumlah penderitanya tidak separah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.

Wabah ini tetap berimbas pada hilangnya sumber mata pencaharian akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga hilangnya pekerjaan. Ditambah kesulitan dalam pemenuhan sembako akibat pembatasan bepergian. Para ahli memprediksi pengangguran dan kemiskinan bakal melonjak hingga memperlebat kesenjangan. Ditambah resesi ekonomi mengintai di depan mata sehingga berdampak buruk bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat. Apakah turunnya angka kemiskinan di Gorontalo selaras dengan penurunan indikator lainnya?

Kemiskinan dan Kesenjangan
BPS Gorontalo dalam dua tahun terakhir melaporkan indikator kemiskinan dan kesenjangan di daerah ini adalah, pertama, jumlah penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan Maret 2019 adalah 21.270 jiwa (4,21 %) dan 164.760 (23,79 %) jiwa. Total kota dan desa 186.030 jiwa (15,52 %). Pada bulan September 2019 turun yakni perkotaan 20.330 (3,99 %) jiwa dan pedesaan 164.380 (23,57%). Total kota-desa 2019 turun menjadi 184.710 jiwa (15,31%). Bulan Maret 2020 turun sedikir dibandingkan Maret 2019 yaitu perkotaan 20.350 jiwa (3,97%), pedesaan 164.670 jiwa (23,45%) dan desa-kota 185.020 jiwa (15,22%). Kita tunggu hasil survei bulan September 2020. Apakah masih turun atau sebaliknya akibat dampak covid-19?. Kabupaten/kota dengan prosentase penduduk miskin tertinggi tahun 2019 ialah Boalemo 18,87 % dan terendah Kota Gorontalo 5,45 %.

Kedua, tingkat kedalaman kemiskinan (P1). Kedalaman kemiskinan (poverty gap index) ialah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Di Gorontalo, pada bulan Maret 2019, P1 perkotaan 0,43, pedesaan, 4,26, dan desa-kota 2,65. Bulan September 2019 P1, perkotaan 0,58, pedesaan 4.1 dan kota-desa 2,61. Bulan Maret 2020, P1 perkotaan 4,34, pedesaan 0,39 dan desa-kota 2,67. Merujuk angka P1, nilainya semakin tinggi sehingga ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap penduduk miskin terhadap garis kemiskinan makin jauh. Daerah dengan tingkat keparahan kemiskinan tertinggi yaitu Kabupaten Bone Bolango (1,39) dan terendah Kota Gorontalo (0,13). Kondisi ini bakal berubah di tengah wabah covid-19 ini. Bisa saja kemiskinan beberapa daerah makin dalam dan parah atau sebaliknya.

Sementara, keparahan kemiskinan (proverty severity index) menggambarkan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai P2, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Merujuk nilai P2 Maret dan September 2019 dan Maret 2020, menggambarkan ketimpangan diantara penduduk miskin kian tinggi. Jadi, meski jumlah angka kemiskinan turun, tapi kedalaman dan keparahannya makin tinggi. Di Gorontalo, bulan Maret 2019 tingkat keparahan kemiskinan (P2) perkotaan 0,07, pedesaan 1,05 dan kota-desa 0,64. Bulan September 2019, P2 perkotaan 0,12, pedesaan 0,89 dan kota-desa 0,56. Bulan Maret 2020 P2 perkotaan 1,08, pedesaan 0,06 dan kota-desa 0,65.

Ketiga, nilai gini rasio Maret dan September 2019 hingga Maret 2020 sebesar 0,41. Angka ini menggambarkan kesenjangan masih tinggi di Gorontalo. Nilai gini rasio terkonfirmasi dengan nilai P1 dan P2 yang terungkap di atas. Dengan demikian, klaim penurunan angka kemiskinan tanpa pemerataan pendapatan antar penduduk patut dikritisi secara obyektif. Terkesan terjadi anomali. Di satu sisi angka kemiskinan turun, tapi jurang kesenjangan masih dalam. Ini menunjukkan ada ketidakmerataan pendapatan penduduk.

Situasi ini dinterpretasikan, ialah ada sekelompok masyarakat berjumlah relatif kecil tetapi berpendapatan tinggi dan menguasai sumberdaya relatif besar. Sementara, ada sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah tetapi kepemilikan sumberdaya relatif rendah dan mendekati garis kemiskinan. Akibatnya, angka kemiskinan turun tapi kesenjangan tetap lebar. Inilah PR besar Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk menurunkan angka kemiskinan sekaligus memeratakan pendapatan masyarakat. Bisa juga kondisi ini dipicu oleh ketidakmerataan antar wilayah atau kawasan, misalnya perkotaan dan pedesaan maupun kawasan daratan dan pesisir.

Pentingnya Data
Sejak beberapa dekade silam, program pengentasan kemiskinan di Indonesia amatlah beranekaragam. Tapi, penurunan kemiskinan absolut maupun relatif cenderung lambat. Salah satu masalah yang krusial di negeri ini ialah ketersediaan dan akurasi data orang miskin kerap bermasalah. Penulis yakin termasuk di Gorontalo. Dampaknya, program-program pengentasan kemiskinan yang sudah digalakkan pemerintah pusat maupun daerah Gorontalo kerapkali salah sasaran. Guna mengatasi soal ini, sebaiknya pendataan dan pemetaan kemiskinan Gorontlao memanfaatkan teknologi informasi berbasis satelit (geographic information system) atau drone.

Penggunaan teknologi ini akan mampu mendata dan memetakan jumlah orang miskin, tingkat pendapatan, kesejahteraan keluarga, sebaran, tipologi, akses terhadap sumberdaya, dan kepemilikan aset hingga sumberdaya ekonomi mulai dari level desa, kabupaten/kota hingga provinsi. Hadirnya data dan peta kemiskinan semacam ini bakal memudahkan pemerintah kabupaten/kota dan Provinsi Gorontalo memformulasikan kebijakan pengentasannya. Bahkan, metode pendataan semacam ini akan mengakibatkan data orang miskin ketahuan orang per orang sekaligus alamatnya.

Jika, pemerintah Provinsi Gorontalo dan kabupaten/kota dapat mengakomodasi gagasan ini, penulis yakin program-program pengentasan kemiskinan bakal tepat sasaran. Basis data awalnya bersumber dari BPS. Lalu, mengombinasikan dengan data primer lapangan secara partisipatoris dan penggunaan teknologi informasi. Dengan demikian, hasilnya bakal memetakan kemiskinan dari pulau kecil, pesisir, dataran rendah hingga pegunungan termasuk kawasan hutan di seluruh Gorontalo. Data ini beraneka manfaat bagi pembangunan daerah. Bukan hanya mengentaskan kemiskinan. Melainkan juga sebagai basis data memperbaiki infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan fisik untuk memeratakan pembangunan.

Hemat penulis, implementasinya di Gorontalo secara bertahap. Dimulai dari satu kabupaten dan kota sebagai percontohan. Bila sukses, bisa mereplikasinya di daerah-daerah lain. Dalam kurun waktu 2-3 tahun semua kabupaten/kota bisa beres. Bila ada pembaharuan data, tinggal diperbaharui (update). Kesuksesan menyediakan data ini bakal mempengaruhi seluruh aktivitas pembangunan dan mempercepat kemajuan daerah. Pasalnya, program-program pembangunan bakal tepat sasaran hingga meningkatkan penyerapan anggaran.

Supaya menjamin transparansi publik, output pendataan ini sebaiknya aksesnya terbuka dan berbasiskan teknologi informasi (digital). Dampaknya publik bakal mengetahui perubahannya dan tingkat keberhasilan program pengentasannya. Apakah kemiskinan berkurang drastis atau malah sebaliknya? Disinilah keunggulan penggunaan teknologi informasi dalam mendukung kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pembangunan daerah. Tentu, Universitas Negeri Gontontalo siap mensukseskan gagasan ini lewat kemitraan dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Gorontalo dalam mendukung pembangunan daerah di era digital ini. Semoga!.#[KP]

Apa Reaksi Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Komentar