BERITA

Kasus Tata Kelola Minyak Pertamina, Komisi III Pertanyakan Selisih Kerugian Negara

JAKARTA (kabarpublik) – Selisih kerugian keuangan dan ekonomi negara dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dipertanyakan anggota Komisi III DPR RI, Abdullah.

Pada tahap expose awal penyelidikan, Kejagung menyebut kerugian sekitar Rp968,5 triliun, bahkan bisa lebih, namun dalam surat dakwaan, Kejagung menyebut kerugian hanya mencapai Rp285,1 triliun.

Selisih kerugian negara dengan angka sangat besar itu, menurut Abdullah, memunculkan spekulasi di ruang publik. Ia berharap jangan sampai masalah selisih kerugian negara itu menimbulkan kecurigaan di masyarakat yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum.

“Sekarang masyarakat bertanya-tanya, mengapa selisih kerugian yang ditangani Kejagung itu sangat besar? Jangan salahkan masyarakat bila curiga atau berspekulasi atas hal ini,” tegas Abdullah, lewat keterangan tertulis seperti dikutip dari Parlementaria, Kamis (16/10/2025).

Pada Rabu (26/2), Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyebutkan, kerugian negara akibat kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina subholding periode 2018-2023 bisa lebih besar dari Rp193,7 triliun, karena angka itu hanya untuk kerugian 2023. Sedangkan tindak pidana korupsi terjadi sejak 2018 hingga 2023.

Bila angka itu dikalikan lima, sesuai rentan waktu terjadinya perkara, maka kerugian negara bisa mencapai sekitar Rp968,5 triliun atau hampir 1 kuadriliun.

Namun, berdasar surat dakwaan yang dibacakan jaksa pada Senin (13/10), kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus yang menjerat Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak pengusaha minyak, Riza Chalid, itu dan beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa beserta empat terdakwa lainnya, disebutkan hanya Rp285,1 triliun.

Selain perhitungan selisih kerugian yang besar, Abdullah juga mempertanyakan pernyataan jaksa dalam dakwaannya yang menegaskan tidak ditemukannya praktik oplosan bahan bakar. Padahal sebelumnya pernyataan itu sempat memicu kegaduhan di publik.

Sikap Kejagung, kata Abdullah, menunjukkan inkonsistensi dan kurangnya transparansi kepada publik. Kejagung juga menyebut istilah yang dipakai dalam produksi BBM bukan ‘oplosan’ melainkan ‘blending’ atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan (RON) yang berbeda.

“Pernyataan dari Kejagung itu sempat membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan Pertamina. Beberapa masyarakat bahkan sampai mengisi bahan bakarnya di SPBU selain Pertamina, dan itu jelas merugikan negara,” tegasnya.

Komisi III selaku mitra kerja Kejagung, kata dia lagi, tentu mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun ia meminta agar praktik pemberantasan korupsi oleh Kejagung dilakukan profesional, bukan mengedepankan sensasi dan bombastis untuk pemberitaan media.

“Kejagung dan aparat penegak hukum (APH) harus profesional, transparan dan akuntabel dalam menindak kasus korupsi yang ada,” katanya.

“Jangan membuat masyarakat bingung, panik dan menimbulkan ketidakpercayaan yang berisiko menghadirkan kerugian baru yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang diusut,” lanjut Abduh, sapaan akrabnya.

Sebab itu dia mendorong agar Kejagung dan APH lain bersikap cermat dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi ke publik, mulai memperhatikan detail hal teknis hingga substansi dari kasus korupsi yang ditangani.

“Artinya Kejagung dan APH dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti PPATK misalnya sebelum mengumumkan kerugian dari kasus korupsi yang ditangani, termasuk kolaborasi dengan pakar atau akademisi jika dibutuhkan untuk mendalami suatu hal teknis yang belum dimengerti,” tutupnya.

Apa Reaksi Anda?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Related posts

Dinas Koperasi dan UKM Ternate Gelar Fasilitasi Pemenuhan Ijin Usaha Pembukaan Kantor Cabang

Ivan KP

Forum Humas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Gelar Sarasehan

Ivan KP

DPMPTSP Kota Ternate Gencarkan Sosialisasi OSS RBA Kepada Pelaku UMKM

Ivan KP

Leave a Comment