OLEH :
APRIYANTO NUSA, SH., MH
(Ahli Hukum Universitas Ichsan Gorontalo)
Menanggapi putusan Mahkamah Agung, terkait dikabulkannya permohonan uji pendapat yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gorontalo. Secara pribadi, berdasarkan prinsip hukum yang terkandung dalam setiap putusan pengadilan berlaku asas yang disebut dengan Resjudicata pro veritate habetur yaitu setiap putusan hakim harus dianggap benar.
Hanya saja, sekalipun setiap putusan hakim harus dianggap benar, tidak menghilangkan hak kita untuk melakukan anotasi atau eksaminasi terhadap putusan hakim tersebut. Paling tidak menurut saya, ada dua hal yang penting untuk kita cermati dari dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung tersebut.
Pertama, Mahkamah Agung dalam putusannya mengakui bahwa benar telah terjadi pelanggaran formiil dalam hal pimpinan DPRD menindaklanjuti Keputusan DPRD tentang Pernyataan pendapat. Hanya saja, kesalahan formil ini menurut pertimbangan MA tidak serta merta mengakibatkan dugaan pelanggaran termohon itu menjadi gugur.
Hemat saya, pertimbangan hukum ini telah “meruntuhkan” bentuk kepastian hukum administrasi yang berlaku berdasarkan tatib No. 1 Tahun 2014 di DPRD Kab. Gorontalo. Dalam ketentuan Tatib Pasal 23 ayat (11) ditegaskan bahwa paling lambat 3 (tiga) hari kerja pimpinan DPRD menindaklanjuti Keputusan DPRD tentang pernyataan pendapat, tapi faktanya yang terjadi tindak lanjut/permohonan tersebut baru dilakukan setelah 10 hari semenjak ditetapkan.
Pertimbangan MA bahwa ketentuan tersebut tidak mengatur akibat hukum dari berlakunya suatu keputusan apabila tenggang waktu itu terlampaui. Dalam pandangan saya, pertimbangan hukum ini sangat “mengada-ada”, sebab pembatasan limitasi waktu 3 (tiga) hari tersebut sebagai bentuk kepastian hukum administrasi yang harus dipatuhi oleh DPRD, sehingga menjadi logis secara hukum apabila pelanggaran administrasi oleh DPRD tersebut harus dibayar dengan gugurnya hak untuk melakukan permohonan pernyataan pendapat ke MA.
Kedua, Dalam pertimbangan MA disebutkan bahwa termohon diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ini menurut saya pertimbangannya sangat dipaksakan, sebab MA dalam perkara ini sebenarnya hanya memeriksa persoalan perbuatan dalam wilayah hukum administrasi pada posisi pak Fadly Hasan sebagai wakil kepala daerah, dan bukan memeriksa dan memberikan pertimbangan dalam wilayah hukum pidana in concreto dugaan tindak pidana korupsi. Kehawatiran saya, jangan sampai pertimbangan hukum MA ini akan “depilintir secara poltik”, dan dijadikan dasar seakan-akan pak Wakil Bupati bisa dilapor kepenegak hukum atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan MA dalam administrasi tersebut.
Terakhir, untuk pak Fadly Hasan dan kuasa hukumnya, upaya hukum yang masih bisa ditempuh adalah melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Sekalipun Putusan MA tersebut bersifat final, tetapi tidak ada ketentuan yang melarang untuk dilakukan upaya PK. Dalam hukum, ada asas yang disebut dengan Ius Curia Novit bahwa hakim dilarang menolak perkara dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur”. Wassalam
Komentar